Here & After

xvii. once upon a time

Dari ruang kerjaku, aku mengamati situasi Sabtu malam di Disclosure lewat monitor.

Alyssa dan Nathan termasuk tamu penting karena status cewek itu sebagai social media personality. Aku tidak tahu personality yang seperti apa, pokoknya personality. Eva, salah satu stafku, menempatkan Alyssa dan Nathan di lantai dua, satu level di atas dance floor, tapi lebih dekat dari bar. Mereka datang dalam massa yang besar, ada delapan orang lain yang sekarang terpencar di berbagai sudut kelab. Sementara teman-teman mereka barangkali berdansa, muntah-muntah, atau merokok, Alyssa dan Nathan memilih untuk berduaan di meja.

"What's he drinking again?" aku bergumam ke dalam walkie-talkie-ku.

"The 1942 Don Julio, it seems," kata Ximenes.

Tipikal.

"A'ight," ujarku. "Keep an eye on 'em."

Aku mendapatkan firasat buruk soal malam ini.

Semua orang tahu tentang Z, dan sejak beredarnya foto penuh skandal itu, tidak cuma satu-dua orang yang mencoba me-reach out padaku. Nathan mungkin tahu sesuatu. Kelab ini secara resmi dibuka empat bulan yang lalu—a considerably long stretch, I gotta say—dan namanya tidak pernah ada di riwayat guest list, begitupun Alyssa. Well, sampai hari ini.

Jika cowok itu berani-berani memberiku back lash setelah aku memutuskannya secara sepihak, aku berhak menge-ban-nya dari Disclosure. Senangnya, bukan Nathan saja yang bisa ku-ban, tapi juga Alyssa. Cewek itu bakal kebakaran jenggot karena tidak bisa mengakses kelab termahal di interkoneksi Basalt-Pyxis. Someone has to experience the collateral damage.

Menyelipkan walkie-talkie ke saku belakang jins, aku turun dari kantor personalia di lantai tiga untuk mengecek bar secara live. Suara lambat beat dari dance floor terdengar samar-samar saat aku melangkah ke dalam mezanin. Si bartender tersenyum padaku. Dia bekas pelangganku di 25/7, tapi jam kerjanya yang sekarang tidak memungkinkan dia untuk minum kopi pagi-pagi. Cukup dengan pemindaian, sebisa mungkin aku menghindari perimeter tempat Alyssa dan Nathan duduk. Aku hanya ingin berbicara dengan Ximenes.

"Mbak," si bartender memanggil. Dia punya nama, Elgin. Aku berhenti, tersenyum, lalu bertanya sopan, "Yeah?"

"Mau ke mana?"

"Biasa," kataku. "Bosen di ruangan."

"Duduk di sini aja," Elgin tertawa, di tangannya ada gelas pengocok berisi daiquiri. "Tadi saya lihat Bang Xin turun ke bawah. Saya disuruh awasin siapa tahu Mbak turun ke sini."

Mungkin Ximenes kebelet pipis atau semacamnya. Toilet ada di mana-mana di dalam Disclosure, tapi para staf lebih suka menggunakan toilet yang terbilang "normal." Artinya bebas dari cowok-cowok atau cewek-cewek mabuk yang bau parfum dan keringatnya terkadang nggak bersenyawa. Dan, yah, terkadang hasil ekskresinya juga tidak terlalu sedap dicium.

"Saya duduk di sini aja ya." Aku memilih kursi yang kurasa adalah blind spot dari meja Alyssa dan Nathan. "Saya memang nyuruh dia ngetem di sini—Eva udah saya suruh ke bawah. Mungkin dia kebelet atau pengin ngerokok bentar."

"Oh ya?" Elgin menuangkan daiquiri bikinannya ke dalam gelas coupé. Sebentar kemudian, seorang pelayan mengambilnya untuk diantar ke meja. "Kenapa memangnya, Mbak?"

"Ya... biasa..." Tawaku keluar putus-putus. "Dugem, kan, gitu. Kalau ada VIP harus diawasin. Nggak tentu semua VIP punya bodyguard sendiri."

Alyssa salah satunya. Dia bukan artis atau pejabat yang mencari stress relief. Kalau ada istilah café hopping, maka yang dilakukan orang-orang seperti Alyssa adalah club hopping. Aktivitas itu familier untuk anak-anak Pyxides Prep seperti Z dan aku, tapi aku hanya bisa melakukannya saat akhir pekan, dan, sumpah, pada satu malam yang apes, aku dan teman-temanku beririsan dengan kedatangan DJ terkenal dari Belanda. Suasana pecah abis. Semua orang berebut oksigen. Waktu itu jangkauan media sosial belum sebesar sekarang, jadi pengumuman soal performer yang paling efektif adalah lewat baliho. Masalahnya, hampir semua baliho ditaruh di Basalt, alhasil banyak anak Pyxis yang terlambat mendapatkan informasi.