Dalam rangka merayakan kepulangan Z ke Indonesia, yang belum sempat Marki rayakan karena cewek itu cuma sok sibuk, dia mengundang kami ke Back Room[1], speakeasy di Shangri-La yang hanya dua kilometer jaraknya dari penthouse. Yeah, penthouse-nya. Jangan tanya berapa kilometer jaraknya dari estat Z, Z dan aku mentertawakan itu sepanjang perjalanan. Katanya aku harus menormalisasi beberapa hal yang menurutku tidak normal pada hari-hari biasa saat mengobrol bersama Marki.
Sesampainya di hotel, Z memberikan kunci Rolls-Royce-nya kepada petugas valet dan memintaku menunjukkan jalan ke Back Room. Z baru pulang, bagaimanapun—he doesn't know shit. Untungnya, kami melihat Daniel di pintu masuk bar. Cowok itu menjabat tangan Z, lalu memeluknya sebentar. "Marki sama"—Daniel mengedik—"they're inside." Sejujurnya, aku punya perasaan soal malam ini akan berakhir dengan lebih banyak penyelesaian masalah dan lebih sedikit koktail. Tapi karena Back Room adalah tempat yang sesuai dengan tema itu, so be it.
Speakeasy itu bertema The Roaring Twenties, seperti Orient Express—gerbong mewah yang meraih popularitasnya dari novel karangan Agatha Christie—dan atsmofer di dalam membuatku ingin melilitkan syal bulu musang di leherku dan memakai topi Fedora. Dua sofa telah direservasi oleh Marki, satu untukku dan Z, lalu satu lagi untuk Marki dan Daniel, secara respektif. Tapi aku melihat satu orang lagi, wajah ke wajah dengan Marki di atas sofa berwarna biru azura, dan aku mengenalinya sebagai cowok yang familier dari universitas.
Greenish-brown eyes, button nose, garis bibirnya lebih panjang daripada bibir cowok itu sendiri. Saat dia menyugar rambut cokelat susunya, yang selalu jatuh di tempat-tempat yang tepat, aku bisa melihat seluruh tindikan berkilauan di telinganya.
Yah, aku tidak mungkin salah orang. Kelas B, fakultas Hukum, Basalt. Kadang-kadang Porsche 911, kadang-kadang Benz Brabus. Rubicon lamanya hancur-lebur akibat menabrak tiang pembatas jalan, dan orangtua kaya-rayanya membelikan dia jip Brabus yang baru. Ini mantan teman sekelasku.
"Oh, here you are." Marki berdiri, lalu menghambur ke pelukan Z dan mencubiti pipi cowok itu, gemas. "Ugh... lucu... lucu... lucu..."
Cowok itu, Faux, mendengus, lalu membuka vial Cognac-nya dan mengambil satu teguk. Setelahnya, Faux menutup vial itu dan mengelap bibirnya dengan lengan blazer. Dia menatapku dengan bingung sebelum berkata, "Hei..." Dia memiringkan kepalanya. "Julia?"
"Juliette," aku menggerung.
"Oh, sori!" Faux tampak benar-benar bersalah. Tololnya murni. "I knew it starts with something like Jules-y... My bad. Sorry."
Sudah lama aku tidak melihat cowok ini, dan itu menjelaskan kenapa pipinya terlihat lebih penuh dan matanya lebih hijau. Kabar kalau anak Julian Slier, pemilik firma hukum yang pernah merepresentasikan banyak perusahaan terkemuka, kecanduan kokain sudah jadi rahasia umum di Basalt, seperti Z memukuli orang adalah boogeyman Pyxis, dan kabar kalau Faux akhirnya pergi ke rehab untuk mengakhiri kecanduannya membuat kami kecewa sebesar kami juga lega cowok itu masih punya sisi waras. Everyone loves a lil' bit villainy.
Dia pernah menjadi pertanyaan besar, dan dia masih menjadi pertanyaan besar untuk malam ini karena, what the hell? Apa-apaan yang slenderman ini lakukan di sini?
"Hey, man." Faux, definisi speakeasy itu sendiri, berdiri, lalu merangkul Z setelah pipi pacarku dibuat memar oleh cubitan-cubitan sayang Marki. "Apa kabar? Lama nggak lihat."
"Sibuk," Z tertawa.
Faux melengkungkan bibirnya. "Aren't we all?"
Lalu datang pelayan berseragam suit-and-tie formal dengan ramuan Bee's Knees ikonik Back Room, nama Marki tertera di leher botolnya. Dan karena Z dan aku terlambat, maka pesanan kami akan menjadi yang terakhir untuk diantar ke meja, ramuan scotch untukku, dan bourbon untuk Z.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...