xxv. into your arms

1K 148 189
                                    

Mobilku berhenti di seberang 25/7. Kafe itu bersinar seperti ada sihir yang terkandung di dalamnya. Keluar dari mobil, aku melintasi jalan yang sepi menuju tangga ke pekarangan kafe. Lampu pos bundar berpendar lembut. Meja-meja dan kursi-kursi favorit para reguler, salah satunya pernah ditempati Z, kosong setelah lewat jam makan malam.

"Hey, buddy," aku bergumam lirih. Ujung-ujung jemariku menyapu kelopak bunga periwinkle yang terlihat kesepian tanpa matahari yang menyinarinya. "How's life?"

Tentu saja mereka tidak menjawab, jadi aku masuk ke dalam. Kafe sepi kecuali beberapa pelanggan yang menekuri laptop dengan serius. Di atas meja mereka, terdapat segelas kopi berukuran besar yang niscaya akan membuat mataku melek sampai minggu depan. Aku mengedarkan pandanganku lebih jauh, lalu menemukan kedua sahabatku, Keke dan Richie, sedang berbincang dengan suara pelan di belakang konter. Celemek hitam yang mereka kenakan mengingatkanku pada celemekku sendiri di rumah. Berbau seperti pelembut setelah berbulan-bulan tidak berbau seperti apa pun selain susu.

Hatiku meleleh.

Pintu kaca kafe berayun menutup di belakangku, dan itu menghentikan pembicaraan mereka selama sesaat. Aku tersenyum. Lebar. Senyum yang berasal dari dasar hatiku. Keke meneriakkan namaku, "Juju!" Lalu berlari keluar dari stasiun. Pelukannya sedahsyat bau biji kopi di rambutnya. "Aku kangen! Akukangenakukangenakukangen!"

"Aw!" aku tertawa. "Kita baru dua minggu nggak ketemu, K."

Keke cemberut. "Tapi udah hampir sebulan kamu nggak ke sini!"

"Iya nih," kataku. "Aku kangen kopinya." Lalu, aku melambaikan tanganku pada Richie di belakang konter. "Satu cappuccino, please! Yang panas! Poinnya masukin ke nomor Z!"

"Sombong!" Richie berteriak.

Aku tergelak.

"Gimana?" kata Keke, lalu mengantarku ke sofa. "I saw the news, actually."

Karena statusku pelanggan sekarang, aku sengaja memilih sofa yang menurut para staf 25/7 adalah tempat VVIP kami. Aku bisa memandang keluar, melihat kebun dan jalan di kompleks universitas yang berkelok-kelok, dan aku juga bisa melihat para barista yang sedang bekerja. Untuk pengamat sekitar, tempat ini sempurna.

"Marki's work," aku menjelaskan secara singkat. "Almost killed Alyssa in the club."

"That girl's on some shit," Keke berkomentar. "I mean, dua-duanya."

"You know she drugged him?" tanyaku.

"Well, I mean, it's all over the internet now, so..." Keke mengangkat bahunya. Lambat-lambat. "Nama Z nggak disebutin, tapi semua orang tahu siapa yang diincer Alyssa."

"Kayaknya cewek itu punya fetish sama Marki," aku berpendapat.

"How's so?"

"Yah, pertama..." aku menjilat bibirku, "... dia tidur sama Z. Kedua, she drugged him, sampe overdosis. Ketiga, dia tidur lagi sama ex-nya Marki. Kelima, Z mukulin ex-nya Marki sampe cowok itu nggak bisa jalan lagi. Everything she did... it went around herMarki, I mean."

"Mungkin dia suka sama Marki," Keke terkekeh kecil. "I mean, I can't blame her. Marki's hot."

"Still a possibility," ujarku, lalu nyengir. "Tapi masih ada kemungkinan-kemungkinan lain."

"Atau mungkin dia pernah ditolak orang," usul Keke. "Tapi orang itu sukanya sama Marki."

Aku melebarkan mataku, memikirkan kemungkinannya, lalu mengedik. "Probably."

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang