xxvi. ocean avenue

1.6K 172 92
                                    

"I know somewhere, somehow we'll be together. Let your waves crash down on me and take me away." (Yellowcard)

Aku bertelanjang kaki di atas pasir yang hangat. Ombak membasuh ujung-ujung kakiku yang dicat biru seperti laut di kejauhan. Kakiku timbul, lalu tenggelam lagi. Dimakan pasir dan dibebaskan air. Samar-samar tercium stroberi segar dari jus yang Z tuangkan ke dalam gelas anggur, dan aku tertawa.

"Really?" Aku berpegangan pada lengan cowok itu, mengantisipasi ombak, lalu mendengus. "Di gelas wine?"

"No wine." Z memberikan jus yang dia blender sendiri di rumah untukku. "Dia nggak boleh minum wine sampai delapan belas—well, oke, aku kasih kompensasi karena dia anakku, sampai lima belas."

Dadaku bergetar menahan tawa. "And you?" tanyaku sambil mencolek perut Z. "Kenapa ikut-ikutan minum jus?"

"Biar tetep bisa cium kamu."

"Mana?" Aku celingukan seperti mencari sesuatu. "Nggak ada yang cium aku dari tadi."

Z menukar gelas wine-nya dengan bibirku, dan aku tertawa sebelum terjatuh ke pelukan cowok itu, terpeleset setelah ombak yang besar menerjang kami.

"Watch out," gumam Z pelan.

Cowok itu membungkuk, mencium bibirku lagi sebelum perutku. "Is it just me or it's bigger than yesterday?" kata Z sambil mendongak. Yang aku lihat sekarang adalah dua bayi. Satunya janin di dalam perutku, dan satunya lagi bayi besar yang sok bertingkah seperti bapak-bapak. Sayang sekali, selamanya Z akan menjadi anak cowok ganteng yang kukagumi di sekolah. Anak cowok yang jadi bayi saat berduaan denganku.

"She's excited to see her daddy," ujarku dramatis.

"How do you know she's a she?"

Aku mengedik ringan. "Can be a he, I won't mind both."

Z tersenyum sarkastis. "What if there's two of them?"

"Ha," aku menjawab datar-datar. "It's expected."

Z mengecup perutku lagi, yang masih serata papan cuci. Awal musim dingin, tiga bulan setelah Z dan aku menikah, aku mulai banyak mual. Z dan aku sedang menikmati makan malam di COMO Alpina Dolomites saat aku tiba-tiba muntah di atas kemejanya. Bulan madu kami jadi kacau balau. Z lebih panik daripada aku. Menelepon Yelena, lalu Marki, lalu hampir menghubungi dokter kenalan Yelena di regional Alpi di Siusi, tapi aku melarangnya dengan keras. Z dan aku menghabiskan dua malam lagi sampai perutku mendingan, lalu memesan penerbangan pulang secepatnya untuk memeriksaku ke dokter dengan supervisi Yelena yang punya pengalaman melahirkan empat ekor anak.

"Mama nggak mual-mual waktu hamil Andreas sama Clarence," kata Yelena setelah aku diperiksa dan dokter menyatakan aku positif mengandung. "Waktu Marki sama Z, though... Mama nggak bisa bangun sama sekali..."

Hari ini adalah satu dari sedikit hari baik ketika aku akhirnya bisa bangun dan menginginkan sinar matahari di kulitku. Z mengepak perlengkapan piknik, termasuk jus sehat pengganti wine untuk menu dietnya ke dalam mobil dan kami menyetir satu jam dari estat ke laguna di bawah calon kafeku. Tempat itu masih terlihat dari pantai pengeboran dan laguna dan jalan masuknya, setelah membabat setengah populasi gandum laut yang liar, tidak terlalu jauh dari lapangan parkir. Bukan tempat yang buruk-buruk amat untuk sebuah kafe, menurutku.

Z melihatku dalam bikini untuk pertama kalinya dan dia tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum dan meremas pantatku setiap dapat kesempatan. Kami kembali ke daratan untuk makan bekal; keju mahal yang biasanya Z makan dengan sauvignon blanc, daging brisket panggang dengan chimichurri, dan roti-rotian dari estat. Estat punya semuanya yang aku butuhkan, dan Z meminta aku tetap di sana agar dia bisa memasak. Aku jarang bisa makan, itu masalahnya, dan hari-hari ketika aku merasa lapar adalah hari-hari ketika Z paling senang. Kadang-kadang, aku memuntahkan beberapa (setelah makan dengan lahap) dan aku akan merasa bersalah pada Z, tapi cowok itu bilang selama aku mau makan dia akan tetap melakukannya.

"Bisa?" tanya Z. Tangan cowok itu di pundakku, membuat hari ini bahkan lebih baik dan terasa seperti titik balik dari fenomena mual-mual yang kualami. "Sedikit-sedikit aja."

"Enak," kataku dengan mulut penuh.

"Nanti aku bikinin yang banyak," Z berjanji.

Kami diam untuk beberapa saat.

"Tapi nanti kamu muntahin..." lanjut Z pelan.

"Jangan banyak-banyak bikinnya," aku memperingatkan.

Z tertawa pelan. "Iya, oke, sayang."

Aku tidak muntah sampai rotiku habis. Z memasukkan sisa-sisa makanan ke dalam keranjang sebelum mengambilkan jubah agar kulitku tidak terbakar.

"Z?" panggilku.

Z menunduk, mengikat jubahku. "Yeah?"

Aku menyentuh pipinya. "Are you mine?"

Cowok-cowok pada umumnya akan menjawab pertanyaan itu dengan, "We're literally married," tapi aku suka cara Z tidak pernah bosan dengan omong kosongku. Cowok itu tersenyum tipis, lalu mencium pipiku dan berkata, "Yes." Kedua tanganku digenggam erat seperti Z membutuhkannya untuk tetap berdiri. "Are you?"

"I was yours before you are mine," aku menjawab otomatis.

Percaya atau tidak, Z tidak percaya itu seperti aku tidak percaya kalau dia hendak mengatakan hal yang sama.

"Time to go home." Z menepuk pipiku. "Bobok siang."

"Dibobokin nggak?" tanyaku dengan nada manja.

Sudut-sudut bibir Z tertarik ke atas. "Dibobokin."

Aku merapat pada Z, memekik senang.

Z kelihatannya suka-suka saja aku bersikap haus perhatian padanya. "I'm gonna be gentle," kata Z. "Make more than love."

"With feelings?" ejekku.

Z mencium pipiku lagi. Menarik wajahnya, lalu tersenyum. "Never without feelings, baby."

Cowok itu mengambil tanganku, tidak pernah meninggalkanku di belakang, dan aku menatap punggung telanjang Z yang digambar dengan sempurna,

cowok dari mimpi buruk dan mimpi indahku,

yang pertama dan selamanya untukku.

Satu-satunya akhir bahagia untukku.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang