Hampir sepanjang sore itu aku menyesali kecerobohanku tidak meninggalkan nomor teleponku bersama alamat di tisu yang kuberikan pada Z.
Pukul enam sore, aku sudah mandi, tapi masih duduk di pinggir ranjangku hanya dengan handuk membelit dadaku. Biasanya, aku akan berganti ke dalam tank top dan celana pendek berbahan tipis, tapi aku skeptis apakah Z akan muncul untuk menjemputku. Aku tidak tahu apa definisi malam untuk Z. Cowok itu bukan orang paling pintar berbahasa yang pernah kukenal. Bisa jadi dia muncul begitu langit gelap. Atau setelah jam makan malam. Lebih buruk, cowok itu mungkin tidak akan muncul sama sekali.
Aku menggigiti bibirku. Sundress-ku tergantung di gagang pintu lemari. Yah, do or die, kalau begitu. Aku akan memakai sundress itu dan menunggu sampai makan malam. Lebih dari itu, aku akan menggosok gigi dan memakai setelan tidurku lagi.
Aku menyetel lagu untuk menyibukkan pikiranku dari mengharapkan kedatangan Z. Tiga puluh menit, aku mengambil buku di nakas dan melanjutkan di halaman terakhir yang kubaca. Aku hampir terjungkal dari tempat tidurku saat mendengar Mama berteriak, berpikir Z sudah mengetuk pintuku dan menunjukkan wajah tampannya, tapi Mama ternyata hanya memanggilku untuk makan malam.
"Sebentar!" ujarku.
Jadi, Z benar-benar tidak muncul. Mendesah, aku menarik ritsleting sundress-ku ke bawah dan berganti menjadi tank top dan celana pendekku. Aku masih memakai make up, tapi Mama tidak akan sadar karena matanya minus.
Menghapus make up bisa nanti saja. Setengah hatiku berkata menghapus make up sekarang cuma buang-buang waktu karena makan malamku bisa-bisa dingin, tapi setengah hatiku yang lain berharap Z hanya terlambat menjemputku. Karena, y'know, definisi malam untuk Z yang berbeda.
Makan malam itu agak hening. Hanya ada aku dan Mama. Setelah pensiun, Papa lebih sering menghabiskan waktunya bermain tenis bersama jompo-jompo lain. Belakangan aku jarang melihatnya di rumah, tapi aku senang dia tidak membusuk di tempat tidur dan terserang komplikasi penyakit mematikan. Seusai makan, aku mencuci piring kotorku, lalu naik ke atas untuk menggosok gigi. Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar bunyi asing dari arah garase.
Hatiku yang gelisah membuatku menyerah melawan dorongan untuk mengecek keluar. Aku menyibak tirai, lalu mendapati kalau bunyi itu sesungguhnya berasal dari jalan. Di seberang rumah, sebuah Benz silver terparkir. Lampu depannya menyala, pertanda kalau mesinnya bekerja dan seseorang kemungkinan di dalam. Aku ingat mobil Z saat SMA, Rolls Royce hitam yang bagian depannya seperti gigi ikan paus, dan ini jelas bukan mobilnya. Bukan selera mobil Z, juga.
Tapi itu sudah enam tahun yang lalu. Selera Z bisa jadi sudah berubah.
Z keluar dari Benz silver itu, dan aku tidak tahu sudah berapa lama cowok itu mengintai jendela kamarku, tapi mata kami langsung bertemu setelah Z mengunci Benz-nya dan mendongak. Aku mendengar aku terkesiap kecil, panik, dan sebelum Z mencapai pintuku, aku sudah turun dengan sling bag yang kusiapkan, dan tank top tidurku, dan celana pendek.
"Juliette?" Mama memanggilku. "Mau ke mana?"
"Ada barang yang ketinggalan di kafe!" teriakku.
Aku melewati Mama sambil berharap Z tidak keburu mengetuk pintu, lalu kudengar Mama berpesan,
"Hati-hati!"
Aku mengangguk setengah hati. Membuka pintu, lalu menutupnya dan berlari keluar.
Z berdiri di bawah lampu jalan. Cahaya tidak memantulkan apa pun di rambut gelapnya kecuali sedikit warna putih. Sekilas ada ekspresi ganjil yang melintas di wajah cowok itu saat melihatku, tapi Z hanya tersenyum saat aku sudah berada di radius lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here & After
RomanceJuliette selalu mendeskripsikan Z sebagai cowok yang lebih cocok dijadikan fantasi. Cowok itu tidak pernah menyapanya di koridor sekolah. Cuma tiupan ringan di leher atau karet rambut yang tiba-tiba ditarik saat Z sengaja lewat di belakang cewek itu...