iii. san francisco

3.8K 305 38
                                    

Di dalam mimpiku, aku kembali ke mansion Z dan berdiri di ujung salah satu koridornya.

Aku tahu seberapa besar mansion itu. Bahkan setelah bertahun-tahun, masih ada perasaan aneh saat aku mencium bau yang sama dengan bau aneh yang kuhirup di dalam bangunan itu—bau yang tercium seperti Z dan tidak seperti Z dalam satu waktu. Aku mengenali corak berulir di lantai pualamnya, jendela-jendela yang berbentuk seperti kumbang raksasa di hall utama, lalu pintu kamar Z yang terbuka.

Lalu, seperti terhipnotis, aku masuk begitu saja.

Aku sering memimpikan sekuens ini. Aku pernah mengalaminya, bagaimanapun. Aku ingat hari itu lebih baik daripada aku ingat namaku sendiri. Namun, di mimpiku, aku tidak pernah mencapai bagian saat Z menutup pintu. Kami selalu berakhir melakukan hal lain. Hal-hal kekanakan. Z mengajakku melihat rumah kacanya. Z mengajakku ke bawah dan melihat salah satu fasad pintu yang paling dia sukai: pahatan kepala dan sayap Pegasus yang dikelilingi sulur-sulur seperti kerangka dinosaurus. Lalu, Z menjelaskan padaku kalau itu namanya Art Noveau, tapi Z tidak pernah benar-benar memberitahuku saat aku berkunjung ke rumahnya. Aku tahu karena aku mencari tahu. Karena diriku yang tolol ini merasa aku harus tahu apa yang mengelilingi cowok idamanku ketika dia sendiri tidak ingin tahu apa-apa soal aku.

Malam itu, Z tidak mengajakku berkeliling. Z cuma menutup pintu, tersenyum, lalu menggandengku ke tempat tidurnya. Kedua lengan Z masih bersih, seperti Z di mimpi-mimpiku yang lain. Cowok manis dalam bayanganku saat dia mulai tumbuh di hatiku. Cowok yang, ironisnya, tidak tahu kalau meniduriku berarti meninggalkan jejak selamanya.

"Pretty eyes," bisik Z, dan aku ingat itu. Aku ingat saat tatapannya jatuh ke bibirku, ibu jarinya menekan terlalu dalam hingga aku menarik ujung bawah seragamnya. "Pretty lips."

Z menarik ibu jarinya keluar.

Aku ingat itu.

Z menghela napas.

"Pretty girl."

Z mencium bibirku,

dan aku terbangun.

Aku tinggal di Pyxis, tapi ada sebagian besar hatiku yang tertinggal di Basalt.

Aku lahir di tempat itu. Saat kecil, aku menghabiskan banyak waktu di rumah nenekku di tepi pantai. Aku bukan tipe anak yang suka keluyuran, tapi aku sering mencari alasan untuk pergi Basalt. Tidak jauh beda dari kuliah, aku juga mendapat pekerjaan pertamaku di Basalt. Cuma sebagai pelayan kafe yang setengah gajinya dibelikan make up dan kopi yang kemahalan karena aku masih tinggal dengan orangtua, tapi aku harus menikmatinya sebelum tiba waktuku untuk melamar kerja sungguhan di kantor.

"Ju?" panggil Keke. "Juju? You in there?"

Keke mengintip ke dalam ruang penyimpanan. Aku berdiri. Dua pak biji kopi di tanganku. "'sup?" ujarku.

Karena suatu alasan yang agak ditutup-tutupi, anak baru di 25/7 meminta bertukar sif dengan Keke, jadi kami sudah bersama-sama sepagian ini.

"Itu," Keke berdeham, "ada yang nyari kamu di luar."

"Nyari?" Mataku melebar. "Siapa?"

Keke mulai lain-lain. "I don't know. He's outside."

Begitu mendengar kalau yang menungguku cowok, aku bisa langsung menebak dari mana kegelisahan Keke berasal—wajahnya yang memerah, lalu ujung sepatunya yang membuat gerakan melingkar seperti kehilangan penopang.

Aku mengangsurkan Keke dua pak biji kopi yang kuambil dan buru-buru keluar.

Z duduk di teras, membelakangi pintu kafe, tapi aku tahu itu dia. Bahkan di bawah matahari, rambutnya terlalu hitam sampai-sampai nyaris biru. Perlahan-lahan, aku mendekati cowok itu.

Here & AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang