Bab 1

787 40 0
                                    

"Lan, kakak berangkat dulu ya." Mentari buru-buru memakai sepatunya dan berlari keluar.

"Kak, nggak sarapan dulu?!!" Bulan berteriak dari arah dapur karena Mentari sudah lebih dulu berlari keluar.

"Nggak Lan. Udah telat, nanti kakak ketinggalan bis!!" Mentari kembali berlari tanpa menunggu jawaban dari Bulan.

"Ish, Kak Tari akhir-akhir ini kok buru-buru terus sih, padahal masih pagi." Bulan bergumam sendiri sambil menyaksikan kepergian kakaknya dari balik pintu.

Mentari berlari tunggang langgang sambil membawa banyak berkas di tangannya. Entah apa yang ada di dalam tumpukan map itu sampai harus ia bawa semua. Tak beberapa lama, tiba-tiba ada mobil sport merah yang mendekatinya. Mentari seketika berhenti karena mengenali pemilik mobil itu.

"Bintang?" Mentari nampak terkejut melihat Bintang dari balik jendela mobil yang terbuka.

"Ayo masuk." Ajak Bintang. Namun Mentari masih berdiam di tempatnya. Bintang pun turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mentari. "Ayok, sayang." Mentari pun akhirnya luluh dan masuk ke dalam mobil Bintang.

"Kok kamu tiba-tiba lewat sini?" Mentari agak bingung melihat Bintang yang secara mengejutkan muncul di depannya.

"Ya lagian kamu kenapa nggak nelpon sih? Kan aku bisa jemput ke rumah tadi, kamu nggak perlu lari-larian begini."

"Kamu kan juga punya kegiatan sendiri. Aku nggak mau ngerepotin."

"Ngerepotin gimana sih Sayang. Lagian kalo kamu nggak mau aku jemput, kenapa sih nggak terima motor yang aku beliin? Aku kan udah sering bilang sama kamu, motor vespa kamu itu sering rusak. Kalo udah kayak gini, mangkrak lagi kan di bengkel nggak selesai-selesai."

"Kamu kan tau aku paling nggak suka kamu kasih hadiah gede-gede. Aku masih bisa usahain sendiri Bi. Lagian aku juga bisa naik bis. Selama ini juga aman-aman aja."

"Tapi kamu sampek nggak bisa sarapan kan?" Mentari menatap Bintang sambil memonyongkan bibir. Bintang sudah seperti orang tua yang cerewet dan bawel. "Nih aku bawain sandwich sama susu. Kamu makan dulu." Bintang memberikan Mentari totebag berisi kotak bekal yang ia simpan di samping nya.

Mentari pun dengan terpaksa memakan sarapan yang sudah dibawakan Bintang untuknya. Selain Bulan, Bintang adalah sosok yang paling perhatian dengan Mentari. Namun sayangnya ia tak bisa leluasa menunjukkan kasih sayangnya pada Bintang di depan orang lain karena orang tua Bintang yang terus menolak hubungan mereka berdua. Hal itu yang membuat keduanya memilih untuk backstreet.

Bintang memberhentikan mobilnya di depan gedung perusahaan yang cukup besar, tempat Mentari bekerja.

"Makasih ya Bi." Ucap Mentari sebelum meninggalkan Bintang.

"Iya. Ya udah sana masuk. Kalo butuh jemputan telpon ya. Kalo aku nggak bisa jemput, nanti biar Pak Usman yang dateng kesini jemput kamu."

"Iya. Aku masuk dulu ya. Dah."

"Dahh."

Mentari hanya bisa mengiyakan permintaan Bintang untuk menjemputnya karena ia malas berdebat. Pada akhirnya ia tidak akan menelpon untuk minta dijemput. Mentari masih bisa pulang sendiri.

Dengan langkah cepat Mentari masuk ke ruangannya untuk menyiapkan segala hal.

"Pagi Mbak." Salah satu karyawan nampak menyapa seorang wanita dengan penampilan feminim dan elegan yang masuk ke ruangan Mentari.

"Mana Mentari?" Wanita itu menanyakan keberadaan Mentari yang sedang membuat kopi.

"Itu Mbak lagi nyiapin kopi untuk meeting tim admin."

"Suruh dia kesini."

"Baik Mbak." Karyawan itu memanggil Mentari untuk menghadap wanita itu.

"Mbak Melisa panggil saya?" Wanita itu ternyata bernama Melisa.

"Nih, anter berkas ini ke Mas Praka. Dia mau meeting sama klien di Cafe Cempaka."

"Tapi mbak. Ini kan bukan tugas saya."

"Kamu mau bantah?!" Wanita itu menaikkan alisnya hingga membuat Mentari agak sungkan untuk menolak permintaannya.

"Bu...bukan gitu Mbak. Ya udah saya yang antar. Tapi saya selesaikan bikin kopi dulu ya Mbak?"

"Kamu pikir klien yang Mas Praka temuin itu temennya sendiri sampai harus nungguin kamu bikin kopi?"

"Ya terus ini gimana Mbak? Nanti Mas Rio marah lagi sama saya."

"Harus ya kamu minta saran sama saya? Saya nggak mau tau, anter berkas ini sekarang. Saya nggak mau debat sama kamu." Wanita itu dengan angkuhnya meninggalkan Mentari yang tengah kebingungan.

"Aduhh, capek banget gue. Satu maunya begini, satu lagi begini. Ini kalo semua minta di prioritasin gue harus gimana?" Mentari pusing sendiri, pasalnya sejak bekerja di kantor itu, Mentari tidak memiliki satu pun teman dekat. Ia jadi tak tahu harus meminta tolong pada siapa.

"Mbak ada apa?" Tiba-tiba Pak Ilman muncul dibelakangnya. Pak Ilman adalah salah satu office boy di kantor tersebut.

"Eh bapak. Anu.. Ini pak. Saya disuruh nganter berkas sama Mbak Melisa, tapi saya juga disuruh nyiapin kopi sama cemilan untuk meeting tim admin, saya jadi bingung harus gimana. Semuanya minta di prioritaskan."

"Oalah, gitu aja kok repot. Biar saya saja Mbak yang siapin kopi sama camilannya. Mbak Tari ngantar berkas aja. Pasti buru-buru to?"

"Beneran nggak papa pak?"

"Nggak papa Mbak. Mbak Tari juga selama disini sering bantuin saya kok, sekarang gantian saya yang bantu Mbak Tari."

"Makasih banyak ya Pak."

"Iya, sudah pergi aja sekarang Mbak. Nanti keburu telat dimarahi lagi sama Mbak Melisa."

"Iya Pak iya." Mentari bergegas pergi untuk mencari kendaraan umum. Sayang sekali Mentari statusnya masih dalam masa training jadi belum ada fasilitas kendaraan pribadi dari kantor. Itupun jabatannya hanya staf, jika ia tidak bisa naik jabatan, maka sampai saat itu juga ia harus tetap menggunakan kendaraan umum.

Mentari berlari ke arah halte untuk menunggu bis yang akan datang. "Ish kalo nungguin bis kayaknya bakal lama deh, gue bisa di geprek sama Mas Praka."

Mentari mencoba mencari alternatif lain. Ia berlari ke tepi jalan raya untuk menyetop taxi. Namun tiba-tiba fokusnya teralihkan pada mobil mewah yang berjalan tidak terarah dari jalurnya. "Tu mobil kenapa?"

Mentari menyadari ada yang salah dari mobil itu. Tak beberapa lama mobil itupun oleng dan menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan. "Astaga." Mentari berlari menuju mobil itu untuk mengecek penumpang di dalamnya.

Karena kaca jendela yang gelap, Mentari berusaha mengintip kedalam. Dan benar saja penumpang dalam mobil itu sudah lemas akibat benturan yang baru saja terjadi. "Aduh gimana ni?" Mentari nampak panik.

Tiba-tiba pintu mobil terbuka. Penumpang mobil itu masih sadar. Dengan sigap Mentari menangkapnya saat ia keluar dari pintu. "Mas, mas nggak papa?" Pria itu sudah berdarah-darah akibat benturan di kepalanya.

Mentari memapahnya dan membawanya ke pinggir untuk menjauh dari mobil. Ia takut kalau-kalau mobil itu terbakar. Tapi sebelum berhasil mendudukkannya dengan benar, laki-laki itu semakin kehilangan keseimbangan dan kesadaran. "Eh Mas." Pria itu pingsan dan jatuh ke pelukan Mentari sampai menindihnya.

"Tolonggg." Mentari yang sudah tidak bisa bangun karena badannya di timpa oleh pria itu, hanya bisa berteriak meminta tolong.

Bersambung....

Langit dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang