Bab 34

256 38 5
                                    

Proyek pembangunan di Bandung sudah mulai digarap. Sehingga akhir-akhir ini perusahaan Langit sering mengirim orang untuk ikut mengawasi proyek tersebut. Sesekali Langit juga ikut berkunjung untuk melihat-lihat.

"Gimana Mas Langit?" Tanya Pak Septo.

"Sejauh ini bagus Pak. Tapi, mulai minggu depan sepertinya saya dan tim tidak bisa berkunjung, karena kami ada kegiatan penting. Jadi saya minta tolong atas kerjasamanya."

"Aman Mas Langit. Nggak perlu khawatir soal itu. Mari, kita makan siang dulu. Saya sudah siapkan sajian yang enak untuk Mas Langit."

"Terimakasih Pak."

Mereka berdua pun menuju ke tempat makan outdoor yang sudah disiapkan oleh Pak Septo.

***

"Bulan. Lan tunggu." Meisya kembali mengejar-ngejar Bulan. Namun Bulan selalu berusaha menghindar. Ia tak ingin urusannya dengan Meisya malah melebar. "Ih. Bulan. Tunggu. Lo tu kenapa sih?" Meisya berhasil menghentikan Bulan dengan menarik tangannya dari belakang.

"Gue lagi buru-buru. Sorry."

"Lan. Gue tau lo lagi menghindar dari gue. Nggak usah cari alasan."

"Nggak. Ngapain gue menghindar?"

"Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain ngehindar mulu dari gue?"

"Ya lo ngapain ngejar-ngejar gue mulu?"

"Gue cuma mau mastiin aja, lo sama Kak Bintang udah sejauh apa sih? Kok bisa secepet itu? Bahkan nyokap gue juga tau."

'Mampus gue'. Ucap Bulan dalam hati. Sebelum memberikan jawaban pasti, Bulan menarik napas panjangnya. "Denger ya Mei. Hubungan gue sama Kak Bintang itu hanya ada diantara kita aja. Gue tau lo adiknya Kak Bintang. Tapi sorry, kalo lo mau jawaban yang lebih pas, mending lo tanya sama Kak Bintang sendiri ya." Bulan hanya bisa menjawab seperti itu karena ia sendiri tidak tau harus menjawab apa. Ia takut jika salah berucap akan berakibat fatal nantinya.

"Lo tau kan Kak Bintang sekarang jarang mau ngobrol sama gue. Gue cuma mau denger dari lo, emang apa bedanya sih?"

"Mei. Sorry. Gue buru-buru."

"Lan. Lo nggak bisa pergi gitu aja dong."

"Kok lo maksa sih Mei? Lepasin."

"Nggak. Gue nggak akan lepasin lo."

"Lagian lo kenapa sih harus tau banget urusan gue sama Kak Bintang?"

"Ya, gue cuma mau tau aja kalo Kak Bintang udah bener-bener lepas dari cewek toxic itu."

"Cewek toxic?"

"Iya. Mantannya. Harusnya udah jadi mantan sih kalo jadian sama lo. Jangan bilang lo nggak tau kalo kakak gue punya mantan?"

"Darimana lo tau kalo cewek itu toxic? Lo pernah jalan sama dia? Lo pernah ngobrol sama dia? Lo tau latar belakang dia kayak apa? Lo tau nggak pake mata kepala lo sendiri?" Tanya Bulan bertubi-tubi.

"Kok lo jadi marah sih?"

"Kalo lo nggak tau apa-apa. Sebaiknya jangan ngejudge dia terlalu keras. Nanti elo yang nyesel. Bagus kalo udah jadi mantan. Dia nggak akan ketemu lagi sama adik toxic kayak elo." Bulan pergi begitu saja dengan penuh kekesalan. Karena ia sangat paham siapa wanita toxic yang Meisya maksud.

"Ih apaan si Bulan. Kok jadi gue yang salah." Meisya juga berdecak kesal atas apa yang dikatakan Bulan barusan.

***

"Bi. Kamu tumben ajak aku ke pantai?"

"Ri. Hari ini aku ajak kamu ke pantai, karena aku tau kamu lagi banyak kerjaan dan pikiran akhir-akhir ini."

Mentari tersenyum tipis. "Emang keliatan banget ya?"

"Ri. Kita itu udah kenal lama. Yang nggak aku tau itu cuma isi hati dan isi kepala kamu. Tapi ekspresi wajah kamu, aku udah hapal."

"Makasih ya Bi. Kamu selalu berusaha ngerti apapun yang aku rasain."

"Sama-sama."

Mentari dan Bintang memilih duduk beralas pasir di pinggir pantai.

"Kamu beneran nggak ada yang mau di ceritain Ri? Waktu itu kamu pernah bilang kan kalo kamu nemu petunjuk soal orang tua kamu."

"Kamu masih inget Bi?"

"Iya masih. Jadi gimana soal orang tua kamu?"

"Aku bakal cerita. Tapi kamu harus janji dulu."

"Janji? Janji apa?"

"Janji kalau kamu nggak akan kasih tau Bulan sebelum aku kasih tau sendiri. Dan janji kalo kamu nggak akan bertindak sendirian tanpa sepengetahuan aku. Apapun itu alasannya kamu nggak boleh lakuin dua hal itu."

"Emmm. Oke. Janji."

"Sebenernya..... aku agak curiga sama Langit. Tapi sejauh ini, aku belum nemu bukti yang terang. Tentang apa yang sebenernya terjadi."

"Kenapa kamu tiba-tiba curiga sama Langit?"

"Aku nemu foto keluarga aku di lemari kerja Langit. Di dalam foto itu, ada foto orang tua Langit juga. Mereka keliatan akrab. Tapi waktu aku nyebut nama Papa, Langit langsung mengelak dan agak emosi. Jadi aku pikir pasti ada sesuatu diantara mereka."

"Apa kamu kerja sama Langit karena kamu udah curiga sama dia sebelumnya?"

"Nggak. Bukan itu. Awalnya aku beneran nggak tau apa-apa. Justru sejak adanya foto itu, aku baru bertekad untuk nggak keluar dari sana. Karena aku mau mencari tau lebih jauh."

"Dan apalagi yang kamu temuin setelah foto itu?"

"Aku coba gali informasi dari Bunda. Aku tau Bunda tau banyak hal soal Papa dan Mama. Tapi dari dulu mereka nggak pernah buka suara. Sampai akhirnya aku ketemu sama Langit, mereka baru mau buka suara."

"Terus? Apa kata Bundamu?"

"Bunda bilang aku harus hati-hati sama keluarga Langit. Keluarganya dulu adalah saingan bisnis Papa."

"Ri. Kalo beneran gitu, itu artinya sekarang kamu dalam bahaya. Kamu udah masuk dalam perangkap Langit."

"Bi. Kita nggak bisa ambil kesimpulan secepat itu. Aku udah pernah ketemu orang tua Langit, dan mereka semua baik. Bahkan bukan cuma ke aku. Tapi ke orang lain juga baik. Dan yang buat aku aneh adalah soal foto yang aku temuin di lemari kerja Langit. Bagaimana bisa saingan bisnis foto bareng dengan senyuman lebar?"

"Jadi maksud kamu?"

"Aku juga curiga sama Bunda Tika. Dia kaya nutupin sesuatu. Jadi aku nggak mau buru-buru. Pasti ada hal yang jauh lebih besar dari apa yang aku bayangkan."

"Apa mungkin Bunda Tika yang rawat kamu dari kecil bisa bohong sama kamu? Dia bahkan punya panti asuhan lo. Dan anak-anak disana juga cukup terjamin hidupnya."

"Aku ngerti Bi. Bunda Tika itu baik. Tapi ada banyak teka teki yang dia ciptain buat aku. Pasti dia tau sesuatu. Walaupun bukan dia orangnya."

Bintang menarik napas. "Kalo gitu, mulai hari ini kita cari tau sama-sama. Apapun yang kamu butuhin, kamu harus bilang sama aku. Apapun yang akan kamu lakuin, kamu harus bilang sama aku. Kalo kamu berani melanggar, jangan salahkan aku kalau aku juga bakal langgar janji aku."

"Kok jadi gitu. Kan nggak gitu tadi perjanjiannya."

"Nggak ada tawar menawar." Bintang menunjukkan kelingkingnya di depan mata Mentari.

"Ckkkk. Iya deh." Mentari akhirnya kalah dengan apa yang diucapkan Bintang. Ia pun mengaitkan kelingkingnya pada kelingking Bintang.

Bersambung.....

Langit dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang