Bab 30

410 38 1
                                    

"Kakak." Bulan sudah sejak tadi menunggu menunggu Mentari di ruang tamu dengan perasaan cemas dan sedih. "Maafin Bulan ya. Bulan janji nggak akan lakuin itu lagi."

"Udah Lan. Nggak usah dibahas lagi."

"Kakak masih marah sama Bulan?"

"Kakak capek Lan. Capek banget. Biarin kakak sendiri dulu ya." Mentari langsung masuk ke dalam kamarnya. Bulan hanya bisa terdiam dalam kepiluan.

Di dalam kamarnya Mentari terlihat uring-urinagan sendiri akibat perkataan Bunda Tika saat menemuinya tadi. "Sekarang gue harus apa? Gue harus mulai darimana? Apa mungkin Langit tiba-tiba jadiin gue sekretaris karena dia tau gue anaknya Papa? Kenapa semuanya jadi serba kebetulan gini sih?" Mentari nampak pusing dan bingung dengan semua yang terjadi.

Disamping itu Langit juga begitu frustasi. "Mentari masih marah nggak ya sama gua? Keadaan dia gimana sekarang? Kenapa dia jadi sensitif gitu soal gua jadiin dia sekretaris? Padahal sebelumnya baik-baik aja. Apa jangan-jangan dia sadar kalo gue lagi nyari tau soal dia?"

"Lang. Mikirin apa sih dari tadi serius banget."

"Mama." Langit terkejut melihat kehadiran Mamanya.

"Kamu lagi mikirin apa?"

"Bukan apa-apa kok Ma."

"Yakin? Dari tadi mama liat kamu kayak gelisah gitu."

"Emmm. Langit boleh nanya sama mama?"

"Tanya apa sayang?"

"Kapan terakhir kali mama tau soal keberadaan Pak Hermawan?"

"Kamu kenapa tiba-tiba nanya itu sih? Apa ada masalah di kantor?"

"Enggak kok Ma. Langit cuma penasaran aja. Selama ini dia nggak pernah muncul lagi kira-kira kemana."

"Emmmm. Mama udah lama banget sih nggak pernah denger soal keluarga Hermawan. Tapi mama pernah beberapa kali ketemu sama adik perempuannya."

"Mama kenal sama adiknya Pak Hermawan?"

"Ya nggak terlalu akrab sih. Cuma pernah liat aja. Dulu yang minta penarikan semua saham Pak Hermawan ke papa kamu kan suaminya. Jadi mama sedikit tau."

"Suaminya? Berarti bukan Pak Hermawan langsung?"

"Bukan. Waktu itu kacau banget deh. Hermawan kesannya kayak nggak mau tau dan mewakilkan semua ke adik iparnya."

"Ma. Bukannya ini perlu dicurigai ya?"

"Maksud kamu?"

"Papa pernah bilang Pak Hermawan itu orangnya profesional dan bertanggungjawab. Dia juga loyal dan berdedikasi tinggi. Apa Mama nggk curiga kenapa dia tiba-tiba hilang dan menyerahkan segala urusan perusahaan ke adik iparnya?"

"Udah lah Lang. Semua udah berlalu. Sekarang kita udah punya perusahaan sendiri yang lancar. Kita nggak perlu mikirin keluarga Hermawan lagi. Toh kalo memang dia masih menganggap Papa kamu sahabat, seharusnya dia muncul dan minta maaf. Atau setidaknya dia ada itikat baik untuk kembali menjalin persaudaraan. Tapi kenyataannya nggak ada samasekali kan?"

"Tapi Ma..."

"Tapi apalagi? Kamu jangan pernah sekali-kali cari tau soal Hermawan ya. Mama khawatir sama kamu. Dulu waktu perebutan saham di perusahaan, Papa kamu hampir celaka. Kalau seandainya dulu Papa kamu ngotot, mungkin Mama sama kamu nggak akan bisa ketemu Papa lagi. Mama nggak mau itu terjadi sama kamu."

"Mama serius?"

"Iya. Jadi jangan aneh-aneh kamu ya."

Dari perkataan Mamanya ini Langit merasa bahwa peristiwa yang dialaminya akhir-akhir ini memang bukan sebuah kebetulan. Melainkan  kesengajaan orang-orang yang memang ingin mencelakainya. Dan bisa jadi bahwa keluarga Hermawan Adi Cakra ada kaitannya.

Langit dan BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang