Rania

2.3K 99 12
                                    

Seorang wanita berparas elok dengan wajah khas timur tengahnya, kini tengah berada di gerbang di salah satu pesantren yang dulunya ia pernah menoreh sebuah kenangan di dalamnya.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam...eh, Nia toh ini?" Tanya seorang wanita paruh baya yang biasa disebut bu Nyai.

"Masyaallah, nggih Nyai. Gimana kabarnya njenengan?" Wanita tersebut menyalami tangan bu Nyai.

"Masyaallah, alhamdulilah Nia. Saya sehat, kamu gimana nduk? Baru pulang yang dari Turki? Eh...monggo, duduk dulu," bu Nyai mempersilahkan wanita tersebut untuk duduk.

"Hehehe....iya bu Nyai, saya baru kemarin sampe sini, terus kepikiran buat sowan ke sini. Pak Kyai ten pundi kok saya ndak lihat?"

"Kyai mu itu lagi seneng berkebun, ada di belakang. Mau tak panggilken toh?" Tawar bu Nyai.

"Eh..eh...mboten usah bu Nyai, ndak papa, saya titip salam aja. Saya juga mau mampir sebentar,"

"Lho...kok cuma sebentar, memangnya mau kemana toh kamu?" Tanya bu Nyai.

"Mau lanjut sowan ke ndalemnya habib Haidar Nyai,"

"Oalaaaahh, iyaaa. Kemarin fah Mela juga baru dari sini, pengajian bareng saya. Oiya nduk, kamu ndak mau minum dulu?"

"Mboten usah Nyai, saya tak langsung berangkat aja. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Turki, buat panjenengan sama pak Kyai. Saya cuma minta selalu diridhoi dan didoakan saja," ucap wanita tersebut sambil memberikan sebuah bingkisan yang cukup besar kepada bu Nyai.

"Yaallah, nduk, kamu ndak usah repot-repot. Kamu inget sama kami saja, kami wes seneng. Makasih ya, nduk,"

"Ngomong-ngomong, kamu masih sering berkabar ndak sama putranya fah Mela? Yang dulu santri di sini itu," tanya bu Nyai sebelum wanita itu beranjak dari duduknya.

"Sudah ndak sih Nyai, sejak saya ke Turki sudah ndak pernah berkabar. Memangnya kenapa Nyai?"

"Sekarang habib sudah terkenal dimana-mana nduk, punya jamaah pengajian banyak, punya tim hadrah. Wes pojok e masyaallah,"

"Masyaallah,"

"Saya ndak mau cerita, takut e nanti spoiler. Mending kamu sendiri aja yang silaturahmi dan cari tau kabar mereka sendiri," wanita tersebut hanya terkekeh sambil menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah Nyai, saya ijin permisi dulu. Takutnya keburu panas di jalan," wanita tersebut menyalami bu Nyai, kemudian pergi meninggalkan pelataran pesantren menggunakan mobilnya.

Rania Huda Assegaf, seorang syarifah cantik putri dari habib ternama, Abdurrahman Assegaf. Ayah Rania seorang pendakwah tersohor dan pebisnis yang sangat sukses. Rania menitih pendidikan di pesantren sejak kecil dan melanjutkan perkuliahan di turki ketika dewasa.

Kini ia sedang menuju ke ndalem pasangan suami istri yang dulu sangat ia sayangi dan hormati bak orang tuanya sendiri, mungkin sampai sekarang. Dulu, salah satu putra mereka menjadi teman seperjuangan Rania di pesantren mulai SMP sampai jenjang SMA.

"Assalamualaikum," ucap Rania ketika berdiri di depan pintu ndalem.

"Waalaikumsalam, monggo silakan masuk,"

"Masyaallah, mamah," ketika mendapati Mamah, Rania sontak memeluk tubuh wanita paruh baya itu.

"Eh..eh..bentar, ini siapa toh?" Rania melepaskan pelukannya dan menyalami tangan Mamah.

"Mah, ini Nia, Mah. Rania, yang dulu itu," Mamah terlihat berpikir sejenak, berusaha mengingat siapa sebenarnya wanita di hadapannya ini.

"Masyaallah, Rania toh, pangling Mamah. Sekarang sudah dewasa, makin cantik. Duduk dulu nduk," Mamah mempersilakan Rania untuk duduk.

HABIBI, Muhammad Zaidan YahyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang