BAB 3 : Burn and Gone

1.7K 235 14
                                    

"Emangnya kamu nggak mau menikah sama orang yang kamu suka suatu hari nanti?"

- Rara -

~~**~~

Sepertinya Adipati titisan robot atau dia adalah manusia yang dipaksa untuk menjadi robot? Jam digital dalam ruang kerja villa ini sudah menunjukan pukul 22.12 WIB, tapi laptop pribadinya belum bisa ditutup. Masih ada rapat yang harus dia ikuti.

Padahal semua orang tahu seperti apa lelahnya Adipati seharian ini. Belasan jam dia di pesawat pulang dari London menuju Indonesia. Ada tambahan tiga jam lamanya perjalanan dari bandara menuju puncak, tempat villa keluarganya dan keluarga Serafina berada. Setelah makan malam pun masih membahas masalah investasi yang tidak ada habisnya.

Saking bosannya dan sedikit mengantuk, Adipati jadi memperhatikan ruang kerja di villa keluarganya ini. Ruangan ini tidak sebesar ruang kerja di rumah pribadinya. Seluruh sisi dinding di belakang kursi kerjanya adalah rak-rak buku tinggi dari bawah hingga langit-langit kamar. Koleksi bukunya didominasi dengan bahasan bisnis yang pria itu tahu bahwa ayahnya asal beli demi memastikan ruangan ini terlihat sesuai dengan fungsinya.

Meja kerja yang Adipati gunakan adalah meja kayu jati yang kokoh dengan beberapa laci. Ada jam digital dan lampu belajar di sudut meja yang terlihat tidak cocok dengan kesan konservatif ruangan ini.

Di sisi dinding kanan Adipati ada jendela berukuran sedang yang mengarah langsung ke sisi depan rumah. Sayangnya, karena mobil-mobil yang mendadak di parkirkan di depan rumah alih-alih basement menjadikan pemandangan indah dari atas bukit tertutup. Satu-satunya hiburan cantik di luar rumah hanyalah langit malam yang ternyata semakin tinggi posisinya di bumi, semakin jelas terlihat kecantikan bintang-bintang di atas sana.

"Oke, kita pake cara kamu dulu, Ndri. Kalau belum berhasil kita cari solusi lagi. Banyak jalan kok menuju Roma, jadi nggak usah putus asa," putus Adipati. Dia melirik lagi jam digital di samping laptopnya. Sekarang sudah 22.22 WIB. "Kayaknya udah malam juga. Saya juga butuh istirahat, masih jetlag. Sampai ketemu di kantor hari senin."

Satu per satu bawahannya itu mengucapkan terima kasih, lalu menghilang dari ruang rapat online. Adipati sendiri langsung membereskan laptopnya untuk dia masukan ke tas kerjanya. Tidak lupa dia mematikan lampu-lampu ruang kerjanya ini hingga satu-satunya penerangan hanyalah lampu yang berasal dari luar rumah yang menembus jendela di sebelahnya.

Adipati belum ingin kembali ke kamar pribadinya. Dia masih terlalu lelah untuk beranjak dari kursi. Jadi, dia memilih untuk memejam sambil menyandarkan badannya di kursi kerja berbahan kulit hewan asli ini.

Baru juga beberapa menit menikmati keheningan dalam gelapnya ruang belajar, tiba-tiba terdengar bunyi air disiram. Tak lama terdengar suara-suara ribut tak jelas dari arah luar. Refleks, Adipat membuka matanya. Dia melongok jendela di sebelahnya untuk melihat siapa yang malam-malam ini agak kurang kerjaan membuat ribut-ribut.

"Nggak ada orang," gumam Adipati. Keningnya berkerut heran.

Selang beberapa detik bunyi mesin mobil dinyalakan kembali menarik perhatian Adipati. Dia berusaha memperhatikan baik-baik dari jendelanya, siapa yang keluar rumah malam-malam seperti ini.

"Itu ...." Adipati kembali bergumam. "Mercy Papi, kan?"

Ketika perlahan mobil Hardi itu bergerak meninggalkan rumah, Adipati mendadak tidak yakin jika Hardi sendiri yang mengendarai mobilnya. Pasalnya papi adalah orang yang sangat taat akan aturan. Jika dia sudah mengatakan akan tidur pukul sepuluh malam setiap harinya, maka itu yang akan dilakukan.

Seketika mata Adipati melebar saat sebuah wajah muncul dalam bayangannya. Refleks, dia meraih ponsel di dekat laptopnya. Buru-buru dia membuka aplikasi pelacak di sana.

Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang