Jam di ponsel masih menunjukkan pukul empat pagi. Seharusnya Serafina masih bergelung nyaman di balik selimut, tapi hari ini tidak terjadi. Sekarang dia malah sudah duduk di tengah-tengah tumpukan berkas di dalam ruang kerja milik Hardi Gunawan di rumahnya.
Semalam memang dia dan Adipati menginap di rumah keluarga Surendra. Mereka tidur tengah malam dengan lelah dan mumet, mengingat tidak banyak berkas yang bisa mereka bawa. Belum lagi fakta brankas kosong yang semakin menjadikan kepala pening.
Serafina mengira dia bisa istirahat sejenak. Setidaknya memberi jeda untuk memikirkan langkah selanjutnya. Sayangnya, pikiran wanita itu salah total. Tiba-tiba saja pukul tiga pagi, Adipati membangunkannya. Mereka harus pulang ke kediaman Gunawan dan mulai mencari berkas-berkas penting lainnya.
Jujur saja Serafina heran. Dia juga enggan beranjak dari kasur saat matahari saja belum menyapa. Namun, Adipati dengan sengaja menggendongnya dari kamar tidur menuju mobil dan terus berangkat.
"Kita nggak bisa santai-santai, Ra. Sebelum polisi acak-acak ruang kerja Ayah dan Papi atau bahkan ruang berkas perusahaan, kita harus duluan. Karena kalau makin lama, jejaknya makin ilang, makin susah kita cari pelakunya."
Ucapan Adipati itu seperti menampar Serafina dan membangunkan wanita itu. Itulah mengapa dia memaksa untuk tetap membuka mata walau rasanya dia ingin memejam dan merebahkan dirinya di atas tumpukan berkas ini.
"Bertahan, Rara, bertahan." Serafina bergumam. Dia menguatkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba saja Serafina merasakan kepalanya diusap lembut. Dia menoleh. Adipati yang sejak tadi duduk di sebelahnya sedang menatapnya.
"Ngantuk ya?" tanya Adipati. Usapan pria itu semakin lama semakin lembut dan itu sukses menjadikan Serafina semakin mengantuk.
Serafina mengangguk. "Apalagi diusap-usap gini ya makin ngantuk," akunya.
"Gitu." Adipati terkekeh pelan. "Mau kopi?"
"MAU!"
Teriakan Serafina itu sekali lagi mengundang tawa Adipati. Bagi keduanya, kopi adalah minuman favorit. Lebih tepatnya kopi hitam tanpa gula adalah kesukaan Adipati dan Serafina jadi ikut-ikutan suka. Bukan karena Adipati saja, tapi khasiatnya yang bagus untuk kesehatan, itu juga cocok untuk diet.
Segera saja Adipati beranjak. Pria itu keluar ruang kerja. Sementara Serafina memilih untuk sedikit memundurkan badannya dan bersandar di sisi meja kerja. Dia menunggu suaminya muncul lagi sambil mencari-cari berkas dengan tanggal 2 desember di tahun berapa saja atau tanggal yang mendekati itu.
Kurang lebih sepuluh menit kemudian Adipati kembali. Di tangannya sudah ada dua cangkir dengan asap mengepul dan aroma kopi yang membuat liur Serafina ingin menetes. Hanya saja perhatian wanita itu sedikit teralihkan dengan sebuah selimut di lengan pria itu.
"Makasih," gumam Serafina. Dia tersenyum kecil sambil menerima kopi dari Adipati. "Itu ngapain kamu bawa selimut?"
"Buat kamu, Ra."
Tahu-tahu saja Adipati menyampirkan selimut ke pundak Serafina. Pria itu juga memastikan selimut itu membalut badan Serafina dengan benar.
"Aku dari tadi lihat kamu berkali-kali gosok tangan. AC juga udah mati dan jendela nggak mungkin ditutup. Jadi, aku bawain selimut aja," terang Adipati.
Senyum Serafina melembut. Dia sekali lagi bergumam terima kasih sambil memperhatikan Adipati yang duduk di sebelahnya dengan kopi di tangan.
"Udah hampir sejam kita ubek-ubek berkas dan nggak ada berkas yang pas tanggal 2 Desember," gumam Adipati. "Aku jauh lebih yakin berkas itu di Ayah daripada di Papi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romansa"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...