Api berkobar melahap satu-satunya bangunan putih di depan mata. Serafina terus berteriak meminta tolong. Dari suaranya masih dengan kekuatan penuh sampai tidak ada lagi suara yang bisa dia keluarkan. Dia tidak lelah. Tidak akan pernah lelah untuk memastikan seluruh anggota keluarganya.
Hanya saja Serafina tidak menyadari ada bagian bangunan yang keropos karena terbakar. Tanpa dia ketahui bagian rumah itu meluncur turun menuju Serafina. Sayangnya, dia terlalu asyik berteriak. Tahu-tahu saja benda panas dengan bara api itu menimpanya, gadis itu sontak tersentak. Seluruh nyawanya seperti ditarik kembali ke tubuhnya.
"Ah!" Serafina berteriak. Matanya terbuka lebar-lebar. Langit-langit tinggi putih dan asing langsung membuatnya panik.
Untuk sesaat Serafina memperhatikan sekitar. Matanya mulai jelalatan. Napasnya memburu. Keringat bahkan menitik ke sekitaran pelipis gadis itu. Padahal ada AC yang menyala di dekatnya, tapi dia merasa sangat gerah. Ternyata dia sedang berbaring di sebuah ranjang dengan sprei putih. Ada nakas tinggi setinggi ranjang yang kosong. Aroma antiseptik yang khas seolah memberitahukan keberadaannya, rumah sakit.
"Papi." Serafina memanggil nama papinya saat tidak menemukan siapa pun di dalam ruangan ini. "Mami, Theo?"
Tidak ada jawaban. Serafina kembali memanggil. Kepanikan langsung merayapinya. Apalagi dia ingat saat sebelum pingsan dalam pelukan Adipati, dia tidak menemukan satu anggota keluarganya berada di luar kebakaran.
"Papi, Mami, Theo." Serafina meninggikan suaranya. "Ayah, Ibu?"
Sontak Serafina turun dari tempat tidurnya. Kondisinya yang baru sadar dari pingsan menjadikan gadis itu sedikit oleng saat berdiri. Kepalanya juga masih agak pusing. Namun, dia mengabaikan rasa tidak nyaman itu dan terus berjalan sambil meneriakan satu per satu nama anggota keluarganya di dalam villa.
Sayangnya, Serafina tak menemukan siapa pun. Kamar mandi juga kosong. Adipati bahkan tidak terlihat. Gadis itu mulai menggigil ketakutan. Pertanyaan besar muncul dalam kepalanya. Apakah dia sekarang benar-benar sendirian?
"DIDI!" Serafina meneriakan nama Adipati. "Didi!"
Lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban. Serafina mulai panik. Dengan langkah gegas dia membuka pintu kamar tidurnya.
Seketika Serafina dihadapkan dengan sebuah lorong putih kosong. Entah jam berapa ini, tapi beberapa lampu dipadamkan. Angin yang berembus membuat bulu kuduk gadis itu berdiri.
"Didi," panggil Serafina lagi. Dia lagi-lagi memaksa dirinya untuk tidak bersikap manja apalagi menjadi penakut di kondisi saat ini. "Didi."
Tatapan Serafina terhenti pada satu titik di sudut lorong. Di sana tidak ada lampu yang menyala, tapi lampu-lampu lain di sekitarnya cukup membuat gadis itu menyadari ada sesauatu di sana. Awalnya dia tersentak, terkejut, apakah dia gagal jadi pemberani dan malah diperlihatkan makhluk tak kasat mata? Namun, tidak. Jaket putih itu Serafina yang membelikannya dan dia tahu benar kepada siapa dia berikan jaket itu.
"Didi," gumam Serafina.
Lambat-lambat dia berjalan menuju bayangan orang yang ada di sudut lorong. Pria itu terlihat menyedihkan dengan duduk di lantai. Kakinya ditekuk untuk menyembunyikan wajahnya. Punggungnya bergetar seolah menunjukkan orang itu sedang tidak baik-baik saja.
"Didi," panggil Serafina seraya duduk di sebelah Adipati. Dia menyentuh punggung pria itu.
Adipati seketika tersentak. Dia mendongakan kepala. Matanya langsung melebar menemukan Serafina.
"Rara," panggil Adipati. Suaranya serak. Serafina bahkan melihat sendiri butiran bening jatuh menitik ke pipi pria itu.
"Kamu udah bangun, Ra?" tanya Adipati. Dia memaksakan senyum dan itu menyayat hati Serafina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Storie d'amore"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...