"Till death do us apart, Serafina."
Adipati
***
Ruang kerja bernuansa coklat tua premium dengan kursi dan sofa kulit kelas atas, rak-rak buku tinggi berisikan buku-buku bisnis yang didominasi terbitan lama, dan segala perabotan berbahan kayu milik Hardi ini mendadak terkesan suram. Padahal lampu ruangan sudah menyala terang. Di sini juga ada tiga orang mengisi ruangan; Adipati duduk di belakang meja bermain dengan jam berbentuk kalung milik ayahnya yang dia temukan di ruang kerjanya tempo hari, Serafina duduk membaca novel di sofa, sedangkan Andri berdiri sambil membaca berbagai informasi yang dia terima selama beberapa hari ini.
"Untuk informasi penyelidikan kasus kebakaran hanya ini yang polisi beritahukan ke saya, Pak," ucap Andri sambil mematikan layar iPadnya.
Adipati tetap diam. Tatapannya lurus pada Serafina yang masih sibuk membaca. Pria itu tidak sepenuhnya menatap calon istrinya, tapi dia sedang mencerna keras informasi yang Andri berikan.
"Oke," ucap Adipati pada akhirnya. Dia mendongakan kepala menatap Andri tanpa ekspresi. "Kamu udah dapat informan dari dalam untuk kasus ini?"
Andri mengangguk. "Sudah, Pak. Tapi sampai saat ini informasinya sama."
"Nggak masalah. Kita tetap butuh dua informasi lebih dari satu sumber. Kalau bisa kamu cari lagi informan baru, Ndri. Semakin banyak informan yang kasih info, semakin kita tahu siapa pembohong dan siapa yang berkata jujur. Paham kamu?"
Sekali lagi Andri mengangguk mendengar arahan Adipati.
"Terus ... kamu udah dapat info kapan rapat pemegang saham Gunawan Emas Perkasa, perusahaan keluarga Serafina?" tanya Adipati sambil melirik Serafina.
Sekarang Serafina sudah menutup novelnya. Dia bergerak semakin ke pinggir sofa mendekat ke arah Adipati.
"Sudah, Pak. Hari senin ini, tiga hari dari sekarang."
Adipati manggut-manggut. Lagi-lagi dia merenung untuk memikirkan waktu tiga hari ini apa yang harus mereka lakukan.
"Ra." Adipati memanggil Serafina. Gadis itu sekarang berani menoleh sepenuhnya. "Kita harus nikah besok atau setidaknya sebelum senen, Ra."
"I know." Serafina tersenyum tipis. "I know."
"Ndi." Adipati kembali fokus pada Andri. "Kalau bisa besok, besok. Paling lambat lusa untuk pernikahan kami. Terpenting sebelum rapat pemegang saham itu, saya mau surat-surat mengenai status pernikahan kami sudah ada di tangan saya. Pernikahan saya dan Serafina harus sah secara agama maupun negara."
"Baik, Pak."
"Satu lagi." Jari telunjuk Adipati terbuka. "Pernikahan ini emang tergesa-gesa, tapi saya mau gaun pernikahan untuk Serafina harus tetap yang terbaik. Berapa pun harganya, gaun itu–"
"Nggak perlu." Tiba-tiba saja Serafina memotong ucapan Adipati. "Aku nggak perlu gaun apa pun untuk pernikahanku, Di. I mean I already have one, Didi."
Kening Adipati berkerut. Dia tidak ingat Serafina sempat membeli sebuah gaun. Apalagi ajakan pernikahannya baru saja kemarin.
"Are you sure?" tanya Adipati memastikan.
Bukannya menjawab, Serafina malah berdiri dari sofa. Sambil memeluk novelnya, dia bergerak keluar ruang kerja papinya.
Sementara itu Adipati seperti disihir di tempat. Tahu-tahu saja dia ikut beranjak dan mengikuti ke mana Serafina membawanya.
***
"Kayaknya aku seharian di rumah ini sama kamu, tapi kenapa aku nggak tahu kamu beli gaun baru, Ra?" tanya Adipati saat dia mengekori Serafina di lorong rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romance"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...