Before the Lost ...
Serafina benci pulang ke Indonesia.
Baru saja mendarat dan pintu pesawat belum dibuka, tapi matahari teriknya sudah berhasil menembus jendela kecil pesawat. Mau tak mau Serafina harus mengenakan kacamata hitam miliknya. Matanya sudah terbiasa dengan sendu London karena mendung nyaris setiap hari, sementara di tempat kelahirannya ini lebih sering matahari menyapa dengan cerah ceria.
Begitu pintu pesawat terbuka, Serafina yang berada di area first class dipersilahkan untuk keluar lebih dulu. Dia pulang hanya membawa satu koper 28 inchi dan tas Birkin-nya. Jadi, tidak repot-repot menenteng turun barang dari pesawat yang menerbangkannya selama 18 jam lamanya.
"Daddy should invest in a new private jet for me!" keluh Serafina.
Bagaimana dia tidak kesal harus dipaksa transit beberapa jam di Dubai, baru bisa terbang ke tujuan utama, Indonesia. Dia paham, Papinya masih memfasilitasi dengan pesawat first class. Perjalanan juga cukup nyaman. Namun, dengan pesawat pribadi, dia tidak perlu mampir ke mana-mana dan lebih cepat sampai.
Satu lagi yang Serafina kesalkan juga, menunggu kopernya untuk turun dari bagasi. Pasti kalau dia menggunakan private jet semua barang-barangnya akan dikirim langsung ke mobil.
"Menyusahkan sekali." Lagi-lagi Serafina mengeluh.
Di tengah-tengah menunggu kopernya muncul tiba-tiba kepala Serafina ditekan kuat-kuat oleh sebuah tangan raksasa. Refleks, dia memekik, "Hey!"
Segera saja dia berbalik. Matanya langsung memelotot menemukan seorang pria yang sepuluh senti lebih tinggi dari Serafina. Lupakan pria dengan kaus dan celana jeans sobek-sobek, pria ini bahkan mengenakan kemeja biru lengkap dengan dasi hitam dan jas hitam. Rambutnya klimis rapi. Kacamata berbingkai hitam yang menyembunyikan tatapan tajamnya dengan mata birunya itu terpasang sempurna.
Pria ini seharusnya terlihat begitu memesona. Luar biasa tampan dengan aura eksekutif mudanya yang terpancar. Namun, di mata Serafina, pria ini biasa saja.
"DIDI!" Serafina geram. Apalagi dia sekali lagi merasakan jari-jari pria yang dipanggilnya Didi ini menekan kepalanya sekali lagi. "Nyebelin banget sih!"
"Bisa nggak berhenti panggil Didi? I'm a grown up man, Rara." protes pria ini. "Satu lagi, kamu yang nyebelin duluan. Siapa suruh tinggalin gitu aja di pesawat?"
Serafina mendengkus keras-keras. "Nama Adipati kebagusan ya buat kamu," jawabnya sambil tersenyum mengejek. "Dan siapa juga suruh kamu jemput aku ke London dan seret aku pulang gitu aja?"
"Orang tua kamu, Ra. Siapa lagi?" Adipati mendesah napas panjang, lalu menggeleng. "Kalau nggak orang tua kita terlalu kompak suruh-suruh aku juga aku nggak akan mau jemput kamu. Jauh lagi ke London. Untung aku nggak sibuk."
Kening Serafina berkerut. Sepertinya kata sibuk bagi Adipati punya definisi yang jauh lebih serius. Pasalnya gadis itu tahu bagaimana pekerjaan Adipati selama ini. Sebagai seorang direktur perusahaan tambang, dia jelas punya segudang urusan. Ponselnya juga berdering nyaris 24 jam. Terkadang dia juga harus bolak-balik ke luar pulau untuk mengurusi tambangnya. Dan dia masih mengatakan tidak sibuk, jadi bisa menjemput Serafina ke London?
Orang gila! Serafina menggeleng.
"Kita pulang sekarang."
Suara Adipati menyentak Serafina. Tahu-tahu saja di depan matanya sudah ada koper merah muda milik Serafina dengan tulisan Barbie besar di sana. Sementara di sisi lainnya ada koper hitam yang membosankan milik Adipati.
"Pulang? Masih sama kamu lagi?" tanya Serafina yang langsung dibalas anggukan Adipati.
"Ra, tanggung jawabku ke orang tua kamu itu sampai kamu selamat di rumah." Adipati menunjuk arah luar bandara. "Sopir juga udah nunggu di depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romance"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...