Bunyi deringan ponsel menarik Adipati kembali dari dunia mimpi. Sesaat dia mengerjap. Lampu kamar tidurnya masih padam. Tirai kamar tidur yang sedikit terbuka juga tidak menunjukkan tanda-tanda langit di luar sana terang. Satu-satunya cahaya hanyalah dua lampu tidur di kanan dan kiri ranjang.
Adipati menekan jam digital di sampingnya. Napasnya langsung mendengkus keras menemukan 03.11 di sana.
"Astaga." Adipati menggeleng.
Gerakan pelan di sisi kirinya membuat Adipati menoleh. Seketika dia meringis melupakan sosok cantik Serafina yang terlelap. Pastinya sekarang dia juga terganggu dengan telepon tanpa tahu waktu itu.
Buru-buru Adipati meraih ponselnya. Saat menemukan nama Briptu Riyo di sana, pria itu lambat-lambat turun dari tempat tidur sambil memastikan Serafina tidak terbangun.
"Halo, Pak Riyo?" sapa Adipati begitu dia berhasil sampai di balkon. Ekspresinya mengeras. Tangannya yang lain menggenggam erat pegangan railing balkon. Telepon dini hari dari seorang polisi tentu bukan pertanda baik.
"Pak Bekti sudah kami tahan sejak tengah malam tadi, Pak Adipati," terang Briptu Riyo.
Adipati manggut-manggut. Keningnya berkerut. Apakah semua penangkapan harus diinformasikan secepatnya? Tidak adakah prosedur untuk mengabarkan kejahatan apa pun itu sampai pagi datang?
"O ... oke," jawab Adipati pada akhirnya. "Saya kira ada hal lebih urgent."
"Memang."
Seketika napas Adipati tertahan dengan jawaban Briptu Riyo. Pria itu menunggu sampai briptu itu menjelaskan.
"Sudah satu jam ini kami terus mencoba mengorek masalah kebakaran villa, tapi Bekti terus menyangkal. Satu-satunya yang dia minta adalah bertemu Pak Adipati," lanjut Briptu Riyo.
Adipati mendengkus keras. "Udah nggak mau ngaku dan sekarang suruh-suruh saya buat datangin dia. Kok enak banget?"
"Jadi, kami mohon kerja sama Pak Adipati untuk datang demi kelancaraan penyelidikan. Kami tunggu sampai pagi ini."
Pada akhirnya, Adipati hanya bisa mengiakan permintaan Briptu Riyo itu. Walau dia sendiri enggan untuk keluar sepagi ini hanya demi mendatangi seorang pengkhianat.
Saat Adipati menoleh dan siap masuk lagi ke kamar, tahu-tahu saja di balik jendela balkon Serafina sudah berdiri. Wajahnya dan kedua tangannya menempel pada kaca.
Adipati tersenyum geli. Istrinya itu tampak sangat menggemaskan seperti anak kecil yang penasaran apa yang sedang kakaknya obrolkan diam-diam di balkon. Apalagi ditambah rambut panjang bergelombangnya yang acak-acakan.
"Cantik, " puji Adipati.
Perlahan dia mendekati balkon, lalu membukanya. Serafina langsung menerjangnya dan memeluk Adipati kuat-kuat.
"Siapa telepon?" tanya Serafina. Nada suaranya terdengar tidak senang.
"Cemburu ya?" goda Adipati sambil menahan tawa.
Serafina hanya menundukkan kepala sambil menyembunyikan wajahnya. Sayangnya, pencahayaan yang minim menyulitkan Adipati melihat warna wajah istrinya itu. Karena jika Serafina merona, maka istrinya itu akan berkali-kali lipat lebih menggemaskan dan sudah dipastikan keinginannya untuk keluar malam ini akan hilang.
"Ih, Didi, jawab nggak telepon siapa?" omel Serafina. Dia mencubit lengan Adipati dengan gemas.
Adipati terbahak kencang. Sebelum dia memberitahukan isi telepon Briptu Riyo. Tidak ada yang dia tutupi karena dia sudah mempercayai Serafina.
"Jadi, aku harus berangkat ke kantor polisi sekarang, Ra. Aku ditungguin, jadi–"
"Aku ikut!"
Rengekan Serafina sukses membuat Adipati kembali tertawa. Kali ini pria itu mengakhiri tawanya dengan mencium sang istri panjang dan lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romance"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...