Aroma kuat antiseptik yang memenuhi indra penciuman Adipati menjadikan pria itu mual luar biasa. Kesadarannya yang sempat hilang karena operasi mendadak kembali dengan cepat. Mata pria itu terbuka lebar-lebar. Napasnya sedikit memburu.
Di mana? Mata Adipati dengan nyalang mulai menatap ke kanan dan kirinya. Semuanya serba putih. Langit-langit kamar pun tampak asing. Gue ... udah mati?
Pertanyaan yang ada di kepalanya itu langsung terjawab dengan bunyi alat-alat kesehatan di sisinya. Dia berusaha menoleh hanya untuk melihat ada tiang tinggi dengan infus yang menggantung serta alat pendeteksi detak jantung. Usahanya itu sukses membuatnya meringis kesakitan tepat di area perut.
Adipati kembali memejam. Dia berusaha menenangkan dirinya karena rasa sakit yang teramat itu.
Hingga sesuatu yang tidak biasa mulai Adipati rasakan. Debar jantung pria itu berpacu dengan cepat. Matanya kembali terbuka, lalu menatap ke kanan dan kiri. Namun, satu-satunya yang dia temukan hanyalah kesendirian.
Serafina? Nama istrinya itu muncul di kepala Adipati. Dia menelan ludah banyak-banyak saat teringat pasca penusukan itu. Ada teriakan Alviano yang sukses menjadikan Adipati menggila. Namun, karena dia buru-buru dibawa pergi ke rumah sakit, pria itu hanya bisa melihat pistol polisi yang dengan sengaja ditembakan ke kaki Alviano.
Selama perjalanan dan menahan rasa sakit, Adipati terus mempertanyakan Serafina. Sayangnya, para tenaga kesehatan itu juga tidak bisa memberikan jawaban karena kurangnya informasi. Satu-satunya yang cowok itu lakukan hanyalah berdoa dan berharap istrinya itu selamat.
"Rara," panggil Adipati lemah. "Serafina."
Tidak ada jawaban. Pikiran buruk Adipati ke mana-mana. Apakah Claudia benar-benar menuruti Alviano untuk membunuh Serafina? Apakah sekarang pria itu benar-benar sendirian di dunia?
"RARA!" Adipati berteriak lebih kencang.
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Gerakan Adipati juga terbatas. Dengan sisa tenaganya pria itu menekan tombol panggilan untuk suster-suster yang berjaga. Tidak, dia harus tahu di mana istrinya. Dia harus melihat Serafina selamat dan bernapas bersamanya di dunia ini.
Begitu Adipati selesai menekan tombol suster itu berkali-kali, kedua tangannya langsung terkulai lemas. Air mata frustrasi karena tidak bisa banyak bergerak, tapi teramat khawatir menitik.
Rara, jangan tinggalin aku. Aku mohon.
***
Langkah Serafina lambat-lambat saat melewati lorong rumah sakit. Tadi dia ingat pingsan di saat matahari baru saja bersinar. Sekarang tahu-tahu saja matahari sudah ada di atas kepala dan teriknya begitu menyengat di kulit.
Tadi saat menunggui Adipati, tiba-tiba saja Serafina pingsan. Ketika bangun, Alex hanya memberitahukan suaminya itu dipindahkan ke ruang perawatan dan masih belum sadar. Ternyata rasa lelah dan masih sedikit shock karena rentetan kejadian beberapa saat sebelumnya membuat wanita itu kembali terlelap cukup lama.
Tahu-tahu saja saat Serafina sadar, dokter memintanya untuk melakukan rangkaian tes tambahan. Ketika semua tes itu selesai, dia kembali ke ruang Adipati dengan tangan menggenggam erat sebuah surat dari rumah sakit. Perasaannya campur aduk hingga sulit digambarkan dengan kata-kata.
Langkah Serafina seketika terhenti saat melihat seorang dokter dan suster baru saja keluar dari ruang perawatan Adipati. Jantung wanita itu berdegup kencang. Dia dengan gegas mendekat.
"Dokter," panggil Serafina. Suaranya sedikit gemetar. Tangannya bertautan dan sambil memilin. "Saya ... saya istri pasien bernama Adipati. Apakah ... apakah semuanya baik-baik saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romansa"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...