"Cheers."
"Cheers."
Baik Adipati maupun Serafina langsung mendentingkan gelas berisi Wine mereka. Sebelum kemudian, menyesap cairan merah yang memabukan itu lambat-lambat.
Untuk sesaat Adipati menahan napas terlebih saat matanya tanpa sengaja melirik Serafina. Istrinya itu tengah bersandar di kepala ranjang. Entah apa yang merasuki wanita itu karena mendadak mengenakan pakaian yang cukup terbuka hari ini; kamisol berbahan satin hitam dengan bagian kerah cukup rendah serta celana pendek satin dengan warna senada dengan atasannya.
Sebagai pria normal dan yang selalu ingat bahwa wanita di ranjang ini adalah istrinya, Adipati mengaku pikirannya pada Serafina sudah cukup kotor. Apalagi ketika mata pria itu tanpa sengaja jatuh ke bibir istrinya, rasa ciuman mereka di altar seperti kembali terasa di bibirnya.
Lama-lama gue bisa gila! Adipati memaksa untuk fokus pada papan tulis berisikan banyak foto-foto itu. Sekarang ada empat tambahan foto lagi di sana, Satrio, ayah Adipati, dan tiga investor utama lainnya di PT Bara Surendra.
Sepulang makan malam, Adipati sudah menjelaskan orang-orang di perusahaannya kepada Serafina. Tidak mendetail terpenting istrinya itu tahu saja. Karena fokusnya adalah perusahaan orang tuanya yang sekarang Adipati juga yang memimpin.
"Setelah ini kita ngapain, Didi?"
Pertanyaan Serafina membuat Adipati melirik singkat. Lagi dan lagi mata pria itu tertarik pada bibir istrinya. Jadi, buru-buru dia memalingkan wajah dan memaksa dirinya sendiri menatap lurus ke arah papan tulis.
"Saat ini yang aku pikirkan adalah ke kantorku dulu." Adipati meringis. "Gimanapun perusahaanku nggak mengalami gejolak besar pas Ayah meninggal, tapi karena ada pemikiran merger ini, aku tetap mau ngadapin rapat pemegang saham besok pagi. Dan kamu harus ikut, Ra."
Serafina manggut-manggut, sebelum kemudian dia mendesah napas panjang. "Ternyata penyelidikan kita belum membuahkan hasil ya, Didi. Kita bener-bener clueless banget."
"Ya," aku Adipati. "Tapi kita harus tetep optimis. Inget, Ra, kita punya satu sama lain. Kita nggak sendirian buat cari tahu siapa dalang kegilaan ini."
Setelah mengatakan itu baik Adipati maupun Serafina tidak lagi berbicara. Keduanya langsung sibuk dengan isi kepala masing-masing. Sekaligus mulai menghabiskan Wine di gelas.
Hanya saja uluran tangan putih milik Serafina menuju nakas menarik perhatian Adipati. Ternyata gelas Serafina sudah kosong dan dia sudah menuangkan gelas kedua. Tidak sampai lima detik, Wine kembali tandas di gelas. Sekali lagi Serafina menuangkan Wine ke gelasnya dan lagi-lagi cairan alkohol itu habis dalam hitungan detik.
"Enough!" Adipati sontak merebut botol Wine di tangan Serafina. Dia menggeleng kuat-kuat. "Aku tahu kamu doyan dan kuat minum, tapi aku nggak mau kamu mabuk, Ra. Besok kita masih harus ke kantor. Jangan lupain fokus kita sama pencarian pelaku pembakaran rumah itu, oke?"
"Nyebelin!" cibir Serafina.
Namun, Serafina tetap menurut saat Adipati meminta gelas Wine kosong dari tangannya. Pria itu melirik jam tangannya. "Udah jam sembilan malam. Kayaknya waktunya aku balik ke kamar dan kita istirahat."
Baru saja Adipati akan berdiri, tiba-tiba tangannya dipegang kuat-kuat. Pria itu menoleh. Seketika dia mendesah menemukan Serafina menatapnya lekat-lekat dengan ekspresi tak terbaca.
Jujur saja saat ini jantung Adipati berdebar begitu kencang. Ekspresi Serafina ini seperti membangkitkan sesuatu dalam diri pria itu. Kata istri juga terus berputar di kepalanya. Andai saja akal sehatnya sudah hilang, mungkin Adipati sudah kembali menaiki ranjang dan mencium Serafina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romance"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...