BAB 7 : The New President

1.5K 205 14
                                    

Bunyi banyak langkah kaki terdengar di lorong sebuah perkantoran. Tempat ini ramai, pegawai berdiri di kanan dan kiri memperhatikan dengan ekspresi tertarik. Namun, tidak ada dari mereka yang berbicara kencang-kencang bahkan memilih diam. Kalaupun berbisik-berbisik, mereka mengusahakan sikap yang tidak terlalu kentara. Sementara fokus mereka adalah tiga orang berjalan dengan cepat menuju lift khusus petinggi kantor.

Seorang pria yang berjalan paling belakang tiba-tiba bergerak mendahului, lalu menekan tombol lift menuju lantai teratas bangunan 40 lantai ini. Seragam serba abu-abunya dengan lengan panjang dan celana panjang di umurnya yang sudah mencapai 40 tahunan membuatnya begitu kontras dengan dua orang lain yang bersamanya.

Dentingan lift diikuti pintu yang terbuka membuat pria 40 tahunan itu mempersilahkan dua orang lain bersamanya untuk masuk lebih dulu, baru dirinya menyusul dan berdiri di belakang.

Lambat-lambat pintu lift di depan mereka tertutup. Gadis yang kini telah menjadi seorang wanita karena telah menikah langsung menghela napas dengan lega. Otot perutnya yang sejak tadi dia tahan agar datar kini bisa dia bebaskan sedikit buncitnya. Padahal gaun hitam panjang dengan lengan pendeknya sama sekali tidak menampakkan lemak berlebihan di perutnya.

"Didi," panggil Serafina seraya melepaskan kacamata hitamnya. "Didi."

Adipati berjalan mendekat, lalu berdiri sejajar dengan Serafina. Hari ini pria itu bukan bintang utama, makanya dia hanya terus mengekori di belakang bersama Ilyas, asisten pribadi Hardi, tapi kini Serafina angkat jadi asisten pribadinya.

"Kenapa, Ra?" tanya Adipati. Dia ikut melepaskan kacamatanya. Tangannya yang sejak tadi menenteng Hermes Kelly pink milik Serafina langsung menyodorkan tas itu kembali ke pemiliknya. "Butuh tas kamu?"

Serafina menggeleng. Dengan segera dia memeluk lengan Adipati dan menyandarkan sedikit badannya pada pria itu.

Sebagai seorang yang sudah mengenal Adipati selama 24 tahun hidupnya, pria yang kini menjadi suaminya ini adalah orang yang selalu bisa Serafina andalkan. Bukan itu saja, Adipati juga salah satu orang akan Serafina cari ketika dia butuh ditenangkan seperti saat ini. Apalagi bagi wanita itu, memeluk seorang Adipati bisa membuatnya merasakan tenang dan aman.

"Aku butuh kamu," aku Serafina. "Kamu tahu aku ... nggak suka diperhatiin banyak orang."

Adipati mengangguk. Tangan kirinya yang bebas mengusap pelan puncak kepala Serafina. "Kamu suka merhatiin orang, tapi nggak sebaliknya. Aku tahu."

Mereka terdiam sesaat. Tatapan keduanya tertuju pada panel lift yang terus bergerak naik menuju lantai 40.

"Rara." Adipati kembali bersuara. "Apa yang bakal kamu hadapi sebentar lagi bukan hal mudah dan mungkin hal baru juga buat kamu, tapi kamu harus inget, Ra, kamu nggak sendirian. Di belakang kamu ada aku yang dukung kamu dalam berbagai hal dan aku juga bakal langsung maju paling belakang buat lindungin kamu kalau kamu dapat masalah."

Hati Serafina langsung disirami kehangatan dengan perkataan Adipati. Pria itu benar karena dia memang selalu melakukannya selama Serafina mengenal Adipati. Sekarang pun wanita itu tidak ragu lagi.

Perlahan Serafina mendongak. Matanya bertemu pandang dengan Adipati. Mereka melempar senyum.

"Makasih," gumam Serafina.

Lagi-lagi Adipati hanya mengusap kepala Serafina, sebelum momen mereka berakhir saat bunyi dentingan lain terdengar. Panel lift yang menunjukkan lantai 40 memaksa keduanya melepaskan diri.

"Let the show begin," ucap Serafina. Dia kembali menegakkan badannya dan berdiri satu langkah di depan. Kacamata dia kenakan kembali.

Seperti sebelumnya, Ilyas berjalan lebih dulu. Di belakangnya disusul Serafina dan terakhir adalah Adipati dengan gagahnya dalam balutan kemeja hitam, vest hitam pas badan, dan jas hitamnya. Namun, tas pink milik Serafina yang pria itu tenteng membuatnya terlihat kontras, tapi juga manis di saat bersamaan.

Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang