"Oke, begini rencananya. Pak Adipati dan Bu Serafina harus tetap masuk ke dalam club dan bersikap biasa saja. Di sana sudah ada beberapa anak buah saya yang berjaga dan menyebar. Sementara di depan pintu masuk ada saya dan Alex, anak buah saya juga ada yang menunggu di pintu keluar. Kalau kalian masuk dan kebetulan ada Claudia, dia pasti panik. Kepanikan ini yang akan membuat kita mudah untuk menangkapnya."
Rencana Riyo itu cukup masuk akal. Walaupun Serafina sempat khawatir jika mereka harus kembali melawan orang jahat dan mungkin ada adegan berbahaya lain yang datang. Namun Adipati menyakinkan istrinya, mereka harus mengambil risiko apa pun itu. Ini sudah terlalu lama untuk mereka diam saja. Waktunya beraksi dengan gagah berani.
"Didi," panggil Serafina begitu berhasil memarkirkan mobil di parkiran kelab malam.
"Kenapa, Sayang?" tanya Adipati.
Sembari melepaskan seat belt, Adipati memutar badannya menghadap Serafina. Dia mengusap puncak kepala sang istri. Senyum lembutnya terpasang.
"Kamu masih khawatir?" Adipati kembali bertanya dan Serafina membalasnya dengan anggukan kepala. "Tenang ya, Ra. Semuanya bakal baik-baik aja. Emang aku nggak bisa memprediksi masa depan, tapi setidaknya kita harus tetap optimis biar hal positif yang datang."
Serafina menghela napas dalam, lalu mengangguk.
Baru saja Serafina akan membuka pintu, tiba-tiba tangannya ditahan. Dia menoleh. Wajah Adipati mendekat.
"Semua bakal baik-baik aja, Sayang. Aku jamin," bisik Adipati. Tahu-tahu saja dia mendekatkan wajahnya kepada Serafina, lalu mencium istrinya dengan lemah lembut. "Saatnya beraksi."
"Saatnya beraksi."
Dengan gegas Adipati dan Serafina menuruni mobil. Keduanya bergandengan tangan memasuki kelab malam.
Untuk sesaat mereka terdiam menatap sekitar. Mereka tahu, mereka tidak sendirian mencari sosok Claudia ataupun Alviano. Namun, keduanya seolah tidak tahu siapa lawan dan kawan mereka di tempat ini. Apalagi saat ini kelab malam pukul 10 sedang ramai-ramainya, DJ juga sedang asyik tampil.
Adipati sengaja menarik Serafina memasuki area dansa. Tidak peduli berapa kali dia mendesis kesakitan karena seseorang menyenggol lengannya, terpenting dia sudah puas memeriksa area itu.
"Kamu baik-baik aja, Didi?" tanya Serafina begitu mereka sudah ada di area bar yang lebih sepi. Tangannya dengan pelan-pelan menyentuh tangan Adipati. "Masih sakit?"
Adipati menggeleng. Bukan sok jagoan, tapi memang sakitnya tidak separah saat hari pertama. "Everything good, Ra."
"O–"
Kata-kata Serafina tiba-tiba saja terhenti. Dia mendadak membeku di tempat. Tatapannya lurus menembus sesuatu di balik punggung Adipati.
Refleks, Adipati berbalik. Dia berusaha menyatukan arah padangnya dengan sang istri. Hingga seseorang yang sedang duduk di salah satu sudut meja bar menarik perhatian. Wanita dengan rambut bergelombang panjang itu sedang menikmati segelas cocktail. Gaun merahnya begitu menggoda. Tangannya juga menggoda laki-laki muda dengan meraba-raba area dadanya.
"Tante Janeth?" panggil Adipati lirih, lalu menoleh kepada Serafina.
"Sial banget, Didi." Serafina menggeleng. "Cabut aja lah! Males ketemu Tante Janeth di sini."
Namun, Adipati malah menahan gerakan Serafina. Saat melihat betapa nyamannya Tante Janeth. Bagaimana kehidupan wanita itu selama ini, sebuah ide muncul di kepala pria itu.
"Didi, apalagi?" protes Serafina. Dia berusaha menarik tangannya, tapi Adipati menahannya dengan cukup kuat.
"Tante Janeth ... dia bisa jadi penolong kita, Ra," ucap Adipati dengan suara pelan. "Mumpung dia ada di sini, kita bisa tanya-tanya. Ayolah, Ra, nggak ada masalah sama ketemu tante kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Till The Death Do Us Apart [COMPLETE]
Romance"Mari menikah, Serafina." Ini lamaran pernikahan pertama Serafina. Harusnya lamaran ini membahagiakan. Sayangnya, tidak. Lamaran Adipati kepada Serafina di sebuah pemakaman di tengah-tengah hujan yang baru turun. Orang gila mana yang akan menerima...