Parents
Ketika Nathan tiba di rumah, pemandangan yang dilihatnya adalah Jia yang menangis di gendongan Miko dan Talitha yang menangis di pelukan Evita. Melihat bagaimana suara tangis Jia begitu serak, anak itu pasti sudah menangis lama. Nathan menghampiri Jia dan mengambil alih anak itu dari Miko.
Begitu mendapat telepon dari Evita tentang situasi di rumah tadi, Nathan meninggalkan meeting-nya dan langsung pulang. Pasalnya, mereka sudah berusaha menenangkan Jia dengan berbagai cara, tapi anak itu terus menangis. Sementara, dia menolak ketika Talitha akan menggendongnya. Dan itulah yang membuat Talitha menangis juga pada akhirnya.
Namun, begitu dia berada di gendongan Nathan, tangisan Jia mereda, berganti sesenggukan. Anak itu menyandarkan kepala di bahu Nathan. Tangan Nathan mengusap lembut punggung kecilnya.
"Tidak apa-apa, Jia, Om Nathan di sini ..." Nathan berkata.
"Pa ..." Suara Jia terdengar serak.
Nathan mengerutkan kening. Ia menatap Miko yang tampak menghela napas berat. Tadi Evita hanya memberitahu tentang Jia yang tak henti menangis, tanpa memberitahukan penyebabnya.
"Kita bicara di atas saja," Miko berkata sembari memimpin jalan ke arah tangga.
Nathan menoleh ke arah Talitha yang masih menangis di pelukan Evita, tapi Evita memberinya isyarat agar ia pergi. Meski hati Nathan terasa seolah diremas karena harus meninggalkan Talitha menangis seperti itu, tapi ia menurut dan pergi ke lantai dua dengan Miko.
Nathan mengayun-ayun Jia yang kepalanya mulai goyah tanpa tenaga ke kanan-kiri, sepertinya dia lelah dan mengantuk setelah menangis begitu lama. Tak lama, anak itu tertidur. Meski sesekali ia masih sambil sesenggukan dalam tidurnya. Tak tega menurunkan Jia, Nathan akhirnya duduk di sisi kamar Jia sembari memangku anak itu.
"Kenapa mereka menangis seperti itu?" tanya Nathan tanpa basa-basi pada Miko.
Miko menggaruk belakang kepalanya, tampak tak nyaman. "Itu ... Jia tadi mencarimu," ucapnya, agak ragu.
Ah, itu mungkin karena Nathan tidak sarapan bersama Jia. Beberapa hari sebelumnya, Nathan akan sarapan bersama Jia sebelum berangkat ke kantor. Namun, ia buru-buru pergi tadi karena ada meeting pagi ini.
"Kurasa, itu salahku. Aku akan mengatur jadwalku agar bisa menghabiskan waktu dengan Jia sebelum berangkat bekerja. Dia mungkin merasa kehilangan karena orang yang biasanya ada, tiba-tiba tidak ada," Nathan menjelaskan. Bukankah dulu juga Jia seperti itu di awal absen orang tuanya?
Nathan tak bisa membayangkan betapa beratnya hari-hari Talitha kala itu sebelum Nathan datang. Ia bersyukur, Evita menghubunginya kala itu. Nathan tak sanggup membayangkan jika Talitha harus menghadapi hari-hari seperti ini sendirian.
"Um ... sebenarnya, bukan itu masalah utamanya," Miko berkata lagi.
Nathan mengerutkan kening menatap Miko yang masih berdiri di samping box bayi Jia. Kali ini dia mengusap tengkuk dengan tak nyaman.
"Lalu, apa?" tanya Nathan. "Apa Jia tidak mau makan?"
"Well, itu juga, tapi bukan itu intinya," jawab Miko lagi.
Lalu, apa masalahnya, sebenarnya? Kenapa Miko tampak begitu ragu dan tak nyaman untuk mengatakannya?
"Jia ... sepertinya menganggapmu papanya, dan Talitha sebagai mamanya," ungkap Miko akhirnya.
Nathan tertegun. Apa?
"Dia mencarimu ... dengan memanggilmu Pa," sebut Miko. "Dan Talitha membentak Jia karena itu."
Jantung Nathan seolah diremas mendengar itu. Ia bisa membayangkan betapa sedih dan kecewanya Talitha pada dirinya sendiri karena membentak Jia. Nathan menunduk menatap Jia, lalu membungkuk dan mendaratkan kecupan lembut di kening anak itu. Jia juga sepertinya sangat kecewa dan sedih karena reaksi Talitha itu.
"Aku sendiri tak tahu bagaimana harus menyikapi itu," Miko mengaku. "Meski, saat ini kau dan Talitha berperan sebagai wali Jia dan memiliki tugas sebagai orang tuanya, tapi Talitha selalu memastikan memanggil dirinya sebagai 'Tante' di depan Jia."
"Well, meski begitu, suatu saat nanti mungkin Jia akan menganggap Talitha sebagai mamanya, dan mungkin memanggilnya mama, kurasa itu masih bisa dimaklumi. Talitha adalah keluarganya. Tapi, itu hal yang berbeda untukmu.
"Talitha mungkin tak ingin merebut posisi kakaknya di hati Jia, tapi menyeretmu dalam hal ini ... sepertinya membuat Talitha merasa bersalah. Kau juga pasti sudah merasakan itu, kan? Bagaimana Talitha menganggap dirinya dan Jia sebagai beban untukmu?
"Dan sekarang, dia harus membebanimu dengan tanggung jawab tambahan sebagai papa Jia. Ketika kau ... tidak menginginkan itu ..."
"Siapa yang bilang aku tidak menginginkan itu?" sela Nathan tajam.
"Lalu, apa kau pernah mengatakan yang sebaliknya pada Talitha?" balas Miko.
Nathan mengernyit. Miko benar. Seperti yang dikatakan Miko beberapa hari lalu, Nathan memang pengecut. Karena keraguan dan ketakutannya, ia tak bisa memberikan ketenangan pada Talitha untuk bersandar padanya sepenuhnya. Namun, bukan berarti Nathan bisa gegabah tentang perasaannya. Bagaimana jika itu justru menakuti Talitha? Bagaimana jika itu justru menjadi beban bagi Talitha?
"Ugh, aku tak bisa mengatakan apa pun jika itu tentang perasaanmu pada Talitha, tapi ... setidaknya mencobalah. Jangan hanya diam seperti pengecut dan menggantungkan semuanya pada sepupumu," Miko berkata frustrasi. "Aku tak biasanya banyak bicara seperti ini, tapi melihatmu benar-benar membuatku frustrasi."
"Seolah kau pernah berada di posisiku," dengus Nathan.
"Aku pernah," tandas Miko. "Dan aku menyesali ketidakberdayaanku untuk berjuang saat itu. Lebih tepatnya, kepengecutanku. Karena aku takut aku tidak akan bisa membahagiakannya. Karena aku takut, dia tidak akan bahagia bersamaku." Miko mendengus pelan. "Tapi, sungguh, ketika aku akhirnya berani mencoba melakukan sesuatu, aku setidaknya merasa lebih baik."
"Ugh ... aku tak tahu kenapa aku mengatakan semua ini padamu," Miko menggeram sembari mengacak rambutnya. "Yang jelas, saat ini pun, tak ada yang bisa kulakukan, baik untuk Talitha maupun Jia di situasi ini. Karena, bukan aku yang memegang peran kebahagiaan mereka. Bukan aku, yang datang dan masuk dalam bagian hidup mereka."
Miko benar. Nathan yang memutuskan untuk datang dan masuk dalam kehidupan mereka. Dia yang memutuskan untuk menjadi bagian dari hidup Talitha dan Jia. Karena itu, dia akan bertanggung jawab atas mereka. Tak kurang dan tak lebih.
Ini bukan lagi tentang perasaannya, tapi tanggung jawabnya pada Talitha dan Jia. Dan hal pertama yang harus ia lakukan adalah membuat Talitha bisa percaya sepenuhnya padanya, bersandar sepenuhnya padanya, dan bersedia membagi bebannya pada Nathan. Bukan hanya berpura-pura, atau sekadar bermain peran, seperti yang mereka lakukan selama ini.
Kali ini, Nathan ingin menjadi bagian dari keluarga mereka yang sebenarnya. Ia ingin berada di hidup Talitha dan Jia, tidak hanya hari ini, besok, setahun, atau sepuluh tahun lagi, tapi sampai akhir hidupnya. Ia ingin berada di samping Talitha dan melihat Jia tumbuh dengan baik.
Bukan lagi sebagai pengamat yang siap memberikan bantuan yang Talitha butuhkan, tapi sebagai sandaran dan pelindung untuk Talitha dan juga Jia. Nathan ingin menjadi rumah untuk mereka. Ia ingin menjadi tempat pulang yang membuat mereka merasa aman dan nyaman di dalamnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby's Project
RandomDunia Talitha seolah runtuh ketika ia harus kehilangan kakak dan kakak iparnya, meninggalkannya dengan Jia, bayi mereka yang masih berumur satu tahun. Talitha bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri, bagaimana bisa dia mengurus keponakannya? Natha...