21. Secarik Kertas Usang

3.6K 176 4
                                    

Happy Reading

Kehidupan Ariel kembali manjadi lebih baik, walaupun sebenarnya hatinya masih tak rela tapi mau bagaimana lagi.

Jika sudah kemauan yang dia atas, tidak ada yang bisa mengetahui atau mencegahnya.

Sekarang, Ariel sedang berada di dalam kamar sambil menatap bingkai foto yang berada di tangannya.

Ia menghela napas pelan lalu kembali meletakkan bingkai foto itu di atas nakas.

Saat akan membaringkan tubuhnya di tempat tidur sesuatu menganggu pikirannya. Ia dengan cepat beranjak dan langsung berjalan mendekati lemari pakaiannya, ia terlihat mencari sesuatu.

Hingga dirasa sudah mendapatkannya, ia kembali mendudukkan dirinya di tepi tempat tidur sambil memperhatikan sebuah kertas putih usang yang di berikan Nathan padanya sebelum pergi.

Ia membuka kertas putih usang itu perlahan, membaca setiap kata demi kata yang membuatnya kembali ingin menangis.


Mas, aku titip anak-anak sama kamu, ya. Jaga mereka baik-baik, maaf ... maaf karena aku gagal menjadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anak kita. Terimakasih banyak sudah bertahan sama aku yang penyakitan. Andai aja aku nggak punya penyakit menyeramkam ini, munkin Riela nggak bakal menanggung semua ini. Maaf, mas. Gara-gara aku Riela harus menanggung sakit yang seharusnya tidak pernah ia rasakan. Mungkin dengan aku pergi, Riela nggak harus seperti sekarang. Setelah aku pergi, donorin jantung aku untuk Riela, ya? Cukup aku yang pergi, tidak harus dengan Riela. Aku nggak mau Ariel merasakan kehilangan untuk kedua kalinya. Aku mohon, mas. Sehabis kamu baca surat ini, segera donorkan jantung aku untuk Riela. Berikan kesempatan untuk Riela hidup ... dan untuk Ariel, tolong bilang sama dia kalo mamanya sayang sama dia. Bilang kalo Ariel sama Riela anak mama. Kesayangan mama, hidup mama, dan sumber bahagia mama. Jaga mereka baik-baik, mas. Aku pergi.

Sekali lagi maaf, mama sayang kalian.

-Delana


Bohong jika Ariel tidak menangis, bohong jika ia sedang berpura-pura untuk kuat. Air mata Ariel menetes membasahi kertas putih usang itu. Mulutnya bergetar hebat, tubuhnya seketika menjadi lemas, pikirannya kosong. Hingga suara pintu terbuka membuat ia harus mendongakkan menatap Samudra yang baru saja kembali dari supermarket.

"Ariel? Kenapa nangis? Kamu sakit?" Samudra duduk di sebelah Ariel dan langsung membawanya ke dalam dekapannya.

"Nggak, aku nggak sakit."

"Terus kenapa nangis, hm?"

"Ini." Ariel memperlihatkan kertas putih usang itu kepada Samudra.

"Ini apa?" Samudra mengambilnya, dan menatap Ariel.

"Baca aja, aku mau ke kamar mandi dulu."

Samudra membuka kertas itu perlahan-lahan saat Ariel sudah masuk kedalam kamar mandi. Saat membacanya, ia menitihkan air matanya.

Ini pertama kalinya Samudra menangis hanya karena sepucuk surat.

Samudra selesai membaca surat itu bersamaan dengan Ariel yang juga terlihat sudah keluar dari kamar mandi. Bisa Samudra lihat jelas di mata Ariel yang masih memerah, sepertinya ia melepaskan semua kesedihannya didalam kamar mandi.

"Duduk sini," ucap Samudra saat Ariel berjalan kearahnya.

Ariel menurut dan duduk di sebelah Samudra.

"Mau cerita?"

"Cerita aku nggak menarik untuk di dengar, mau?"

Samudra tersenyum, mengelus pelan pipi Ariel. "Cerita aja, aku siap dengerin cerita kamu. Kamu tau nggak, kalo membagi cerita sama orang lain bisa bikin hati kita tenang? Mungkin aku bukan pendengar yang baik, tapi sedikitnya kamu mau membagi cerita kamu sama aku, Ariel."

Ariel menghela napas pelan, mengambil ancang-ancang untuk menceritakannya kepada Samudra.

"Jadi-"

*****

"Mama, mama yakin mau menyusul Ariel? Tunggu dia tenang dulu, papa takutnya dia malah takut sama kita," ucap seorang pria paru baya yang bisa diyakini suami dari wanita yang sedang berada di sebelahnya.

"Yakin, pa. Kamu nggak ingat pesan mas Nathan?"

"Yaudah, besok aku beli tiket untuk pemberangkatan kita."

"Jangan besok! Kalo bisa sekarang kenapa harus besok? Siapkan sekarang, jika tidak, mama suruh papa tidur di ruang tamu!"

Sang suami menghela napas pelan, istrinya selalu saja memberikan ancaman yang sama, dan anehnya ia langsung menurut saja.

"Iya, yasudah, malam ini kita berangkat. Mama siap-siap sekarang, biar nanti nggak repot kalo sudah mau berangkat."

Wanita itu langsung memekik senang dan memeluk suaminya erat, memberikan kecupan di wajah sang suami dan segera bergegas menuju kamarnya.

"Hah ... mirip sekali dengan Delana." Pria itu memijat pelipisnya pelan dan kembali melanjutkan aktivitas membaca korannya.

Sejam kemudian, wanita itu kembali dengan dua koper ditangannya.

Suaminya yang melihat itu kembali menghela napasnya pelan.

"Sayang, kenapa kopernya udah di bawa keluar aja?"

"Biar nggak repot 'kan? Mama males harus balik kekamar lagi ngambil kopernya, jadi mama bawa sekalian aja."

"Tap-"

"Berisik, kamu cepetan siap-siap! Bentar lagi malam, kamu mau telat, hah?!" Pria itu langsung berlari menuju kamar kala mendengar ucapan istrinya. Sungguh, ia tak mau terkena amukan banteng mengamuk.

"Kenapa juga aku punya suami modelan kayak dia? Aku jadi ingat Delana. Tunggu aku, Ana. Aku akan pulang."

*****

Tbc....

skskzbzjs, chap kali ini agak pendek, otakku lagi nggak fresh buat mikir alurnya, gomen.

see you next chap, minna!

tertanda
ssaEra

ELSAMDRA [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang