18 - Crying

31.1K 2.8K 156
                                    

haloww, akhirnya bisa up meski udah tengah malem~ (ㅅ´ ˘ ')

oiaa, termakasiii atas komenan manis kalian yang udah jadi mood booster buat aku 😽

Happy Reading!
—✦◌✦—
🐻🤎

Bibir mungil Lou mencebik, kembali menempelkan pipi chubby nya pada bahu lebar Levan hingga melumer.

"Lou mau Asfar, tidak mau minum obat." cicit Lou, terdengar parau untuk yang kesekian kalinya. Ia merindukan Asfar. Ingin memeluk, serta memainkan bulu putihnya yang terasa begitu lembut.

Lovisa menghela nafas pelan, meletakkan sendok dan botol sirup keatas meja kaca. Mereka saat ini masih berada di ruang keluarga. Dengan Lou yang keras kepala tidak mau meminum obat, setelah tadi sang Mama berhasil menyuapinya lima sendok bubur dengan segala bujukan. 

Untuk Atlas, ia langsung melesat pergi setelah Levan memberitahu jika sang Ayah mengancam akan mencabut semua fasilitasnya. Atlas baru ingat, ternyata dirinya memang diminta untuk datang ke perusahaan sejak kemarin.

Levan hanya diam, membiarkan si bayi beruang mendusel di pangkuannya tanpa berhenti meracau. Kotak beludru pemberian dari Atlas, bahkan masih setia Lou genggam dengan kedua tangan kecilnya.

Lovisa mendekat, mengusap lembut rambut halus si bungsu. "Sayang, Papa kan sudah bilang. Minum obat dulu baru ketemu Asfar, ya?"

Lou menggeleng ribut, menjauhkan diri dari usapan sang Mama. "Tidak mau Ma, Lou mau ketemu Asfar." pintanya lagi. Dan tetap tak mendapat respon apapun dari Levan. Mata bulatnya mulai berkaca-kaca, merasa sakit hati karena keinginan untuk bertemu Asfar terus tertolak karena dirinya yang masih demam.

"Papa- hiks! Jahat! Kenapa jahat lagi?!" Lou langsung terisak hebat. Tangis yang telah ia tahan sejak tadi akhirnya pecah, tak peduli meski pusing mulai mendera kepalanya.

Levan mengeraskan rahang, ia paling lemah jika diantara putranya ada yang sakit. Terutama jika itu si bungsu, bayinya yang begitu cengeng sampai menganggap obat sebagai musuh bebuyutan.

"Berhenti menangis. Sekarang minum obat, atau Papa tidak akan mau menggendongmu lagi." Levan bangkit berdiri, membawa tubuh mungil bayinya kedalam gendongan dengan hati-hati. Ia kemudian menatap Lovisa, mengkode sang istri untuk kembali menuangkan obat sirup ke sendok.

"Tidak mau, Papa." tolak Lou lagi dengan suara bergetar. Menundukkan kepala, mencengkram kuat kotak beludru dalam genggaman tangan kecilnya.

Levan tampak memejamkan mata sebentar. "Kalau begitu turun, Papa tidak mau menggendongmu lagi."

Lou langsung tersentak, mencengkram kasar kemeja Levan saat tubuh mungilnya akan diturunkan.

"Lepas." Levan melepas cengkraman tangan kecil bayinya dengan mudah, dan langsung menurunkan tubuh mungil Lou yang mulai histeris dari gendongannya.

"PAPA!" Lou langsung berlari, mengejar Levan yang melangkah lebar meninggalkan ruang keluarga. Kedua tangan kecilnya terangkat, melempar asal kotak beludru yang setia ia genggam sedari tadi. Demi mencoba menggapai kemeja putih sang Papa dari belakang.

"PAPA! MAAF! PAPA!" teriak Lou terisak hebat, bahkan hampir terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

"Sayang!" Lovisa berseru khawatir, melangkah cepat menghampiri si bungsu yang terus mengejar sang Papa.

BRUKK!

Levan langsung berhenti melangkah. Merasakan tubrukan dari si bayi beruang, yang kini langsung terduduk dilantai memeluk erat salah satu kaki jenjangnya.

LOUISE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang