02

593 45 3
                                    

Hanya sebuah kisah tentang keluarga kami. ~ Mahendra's siblings.

.
.
.
.


Pagi hari di kediaman Mahendra. Ah.... Lebih tepatnya keributan Senin pagi.

"Ya Tuhan, ini sudah pukul setengah tujuh namun masih belum pada turun? Mau sampai kapan mereka tidur?" Ucap Buna sambil merapikan meja makan. Dengan tergesa Buna pun berjalan menuju masing-masing kamar anaknya.

"Mas, sudah bangun? Sudah setengah tujuh, katanya ada kelas pagi," ketukan pintu serta suara Buna membangunkan sang pemilik kamar.

Dengan suara lirih Mas Aka anak pertama Buna pun melihat kearah jam dinding di kamarnya. "Astaga, Buna Mas sudah bangun. Ini mau mandi," jawaban itu pun membuat sang bunda tersenyum kecil. Dan segera meninggalkan kamar si sulung.

"Kakak, Buna masuk ya?" Ucap sang Buna setelah membuka pintu yang kebetulan tidak di kunci. Ketika pintu dibuka, suara gemericik air dari kamar mandi terdengar, dan sepertinya memang putra kedua Buna ini tengah mandi. Pintu pun ditutup kembali.

Buna kemudian berjalan kearah pintu di sebelah kamar putra kedua, iya ke arah kamar sang anak tengah. Belum juga ia ketuk pintu itu, sudah keluar pula penghuninya. "Buna? Abang sudah bangun, ini mau turun," terangnya sambil menenteng tas dan jaketnya.

"Ya sudah, Abang langsung ke meja makan ya. Buna mau bangunkan adek dulu," ucap Buna sambil berjalan ke arah anak bontotnya. Sementara sang anak tengah kini telah berjalan menuju meja makan.

Kini Buna sudah berada di kamar kedua anak kecilnya. Kamar itulah satu-satunya kamar yang tidak pernah dikunci. Alasannya simpel, keduanya tidak akan bangun jika tidak dibangunkan dan terkadang adakalanya keduanya lari menuju kamar sang Buna dengan menangis ketakutan karena sebuah petir.

Buna duduk di pinggir kasur, sambil tersenyum kearah kedua permata kecilnya. "Adek bangun yuk. Udah siang, nanti terlambat loh. Ditinggal Abang sama kakak mau?" Ucap Buna lembut sambil membuka selimut dan mengelus kepala kedua putranya tersebut.

"Emmm, lima menit lagi Buna," ucap adek kecil sambil kembali menutup matanya dengan lengan.

"Emm, suruh Abang tunggu. Ghana mau tidur sebentar," ucap anak keempat Buna sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.

"Astaga sayang, ini sudah setengah tujuh. Mau dihukum lagi?" Ucap Buna sambil menggoyangkan tubuh kedua anak kecilnya ini.

" Ha? Setengah tujuh? BUNAAAAAA, ADEK TERLAMBAT!"setelah berhasil mencerna ucapan sang Buna, dengan tergesa anak itu berlari menuju kamar mandi walau sambil menabrak pintu kamar mandi akibat belum sepenuhnya sadar.

"KOK SUDAH JAM SEGINI? CHANDRA, GHANA IKUT MANDI. TIDAK MAU HUKUM LAGI!" Kini giliran anak keempat yang lari sambil berteriak menuju kamar mandi.

"Astaga, mereka ini," senyuman manis terpancar dari wajah sang Buna, sambil merapikan kasur anaknya lalu menyiapkan seragam keduanya. Kini sang Buna telah kembali ke menuju meja makan untuk menunggu seluruh penghuni rumah Mahendra.

"Abang, bekalnya jangan lupa di bawa ya," ucapan sang Buna membuat satu-satunya anggota keluarga Mahendra yang telah datang pun tersenyum sambil mengangguk kepala sebagai tanggapan. Dan mengambil bekal yang telah Buna siapkan untuk dibawa.

Tak lama setelah percakapan itu, keempat Mahendra bersaudara kini telah kumpul di meja makan. Dan acara sarapan pun di mulai. Dengan sedikit wejangan yang sang Buna berikan kepada anak-anaknya.

Ah, jika bertanya kemana sang ayah. Maka jawabannya, ayah Gara telah berangkat subuh tadi menuju luar kota. Katanya ada acara kampus yang mengharuskan ayah pergi menemani beberapa mahasiswanya.

Acara makan pagi pun telah selesai. Abang Atta telah pergi terlebih dahulu karena harus mempersiapkan upacara. Dan kini, salah satu anak kecil Buna pun rewel.

"Bunaaaa, Ghana mau berangkat bersama Abang. Tapi kenapa malah ditinggal?" Drama pagi ini dimulai dengan anak keempat Buna yang bersikukuh ingin berangkat bersama sang Abang yang nyatanya telah berangkat lebih dulu 5 menit yang lalu.

"Astaga sayang, Abang kan harus mempersiapkan upacara. Jadi harus berangkat lebih dulu," terang Buna memberi pengertian sambil mengelus kepala sang anak.

"Tapi Ghana mau sama Abang, Ghana tidak mau hukum seperti kemarin Buna," jawabnya sambil melihat ke arah sang Buna.

"Iya sayang. Bareng Mas saja ya," negosiasi yang sang bukan keluarkan nyatanya tidak mempan. Keinginan sang adek untuk berangkat bersama sang Abang terus saja ia lontarkan.

"Tidak mau,"

"Astaga Ghana! Kamu mau berangkat sekarang atau mau terlambat lagi? Kalau tidak mau sama mas, ayo sama kakak. Kaka juga harus segera berangkat sebelum dosennya datang," akhirnya setelah menanti dengan kesabaran penuh, sang kakak marah juga. Pasalnya hari ini dia mendapat kelas pagi yang mengharuskan ia berangkat lebih awal kali ini. Namun bukannya bisa segera berangkat, nyatanya ia harus menghadapi drama pagi dari adiknya ini.

"Buna, Ghana tidak mau, Ghana mau sama Abang," kekeh Ghana sambil memeluk sang Buna.

"GHANA! Ini masih pagi, jangan membuat keributan. Jika kamu tidak mau berangkat, ya sudah. Biar Chandra sama kakak dan mas saja yang berangkat. Sudah mepet waktunya masuk," akhirnya karena rasa sabar yang mulai menipis. Si sulung pun mengeluarkan argumennya yang akhirnya sedikit membuat Ghana merasa takut.

"Terserah nanti Ghana dapat marah dari ayah. Bahkan dapat marah dari Abang. Chandra berangkat dulu sama kakak." Tanggapan dari anak bontot ini tentu makin membuat Ghana takut. Pasalnya kemarahan kedua orang itu saja yang mampu membuat Ghana benar-benar jera.

"Hiksss bunaaaaaa, Ghana tidak mau. Hiks, Ghana mau berangkat," tangis pun pecah juga. Ghana memang selalu seperti ini jika keinginannya tidak terpenuhi atau saat merasa takut.

"Ya sudah. Berhenti dulu nangisnya ya, sekarang pakai helmnya dan berangkat bareng mas Aka ya. Supaya tidak terlambat. Oke sayang." Nasehat Buna sambil menghapus air mata Ghana. Kemudian menyerahkan helm yang harus dikenakan oleh sang putra.

"Okey, Buna," ucapnya sambil berjalan ke arah motor mas aka. kemudian naik ke atasnya lalu memegang dengan erat pinggang sang kakak.

"Hati-hati ya mas, kak. Jangan ngebut, bahaya," nasehat Buna ke arah kedua anaknya, si kembar.

"Iya Buna, mas, kakak, sama adek berangkat dulu. Dadah Buna," balas si sulung sambil menghidupkan motornya dan mulai melajukan meninggalkan halaman rumah untuk berangkat ke sekolah.

"Dadah Buna/bye Buna,"

"Dah sayang. Hati-hati ya,"

Kini rumah telah sepi. Tinggal Buna yang kembali masuk ke rumah untuk membereskan meja makan sebelum berangkat menuju toko roti.

.
.
.
.

Terima kasih Tuhan, atas segala kebahagiaan ini. ~ Bunda Aruna

Selamat menikmati kisah kami, kisah keluarga Mahendra.

Mahendra BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang