08

173 17 1
                                    

Hanya sekedar kisah kehidupan sehari-hari keluarga Mahendra. ~Mahendra brothers.
.
.
.
.
.

Sinar mentari telah memasuki celah-celah jendela rumah. Suara pisau dengan talenan yang menari serta air yang mengalir membersihkan beberapa peralatan di wastafel. Diiringi senandung merdu yang keluar dari bibir Buna. Menandakan pagi telah tiba.

"Sayang, anak-anak belum bangun?" Tanya Sagara kepada Aruna yang tengah mencincang beberapa bumbu.

"Belum mas. Biasanya kakak dan Abang sudah bangun, tapi ini belum juga," jawaban dari Aruna membuat Sagara segera meninggalkan area dapur menuju lantai dua dimana kamar para jagoannya berada.

Tok tok tok .....

Bertemunya pintu kayu dengan tulang ruas jari Sagara menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Suara itu membuat orang yang berada di sebrang pintu pun terbangun. "Buna?" Seru dari dalam. "Biasanya Buna akan langsung memanggil mas". gumamnya ketika tidak mendapatkan jawaban.

Dengan kondisi yang masih mengantuk, Aka berjalan ke arah pintu kamar untuk membukanya. Dapat ia lihat sang ayah tengah berdiri di depan. "Ayah? Tumben."

Sagara kemudian menyuruh si sulung untuk membersihkan muka dan segera turun. Setelah Sagara pergi menuju kamar anak keduanya. Di sana Sagara melakukan apa yang ia lakukan di depan kamar sang sulung. Tak berapa lama, ada dua orang keluar dari dalam. Riga dan Natta tidur bersama di kamar milik Riga. Hal biasa yang sering terjadi.

"Ayah tidak kerja?" Pertanyaan itu keluar dari Riga dengan raut muka yang sedikit terkejut.

"Tidak. Sudah gosok gigi dan cuci muka?" Jawab Sagara kepada kedua putranya.

"Sudah. Buna sudah masak ayah?" Tanya Riga kembali.

"Sudah. Sekarang kalian turun. Ayah mau ke kamar adik kalian," setelah mengatakan hal demikian. Sagara segera pergi menuju kamar kedua bungsu Mahendra.

Setibanya di sana, Sagara tidak mengetuk pintu kamar itu. Ia langsung membukanya. Terlihat suasana kamar yang redup dengan beberapa sinar mentari yang mencoba menerobos masuk melalui celah jendela. Sagara lalu berjalan menuju salah satu kasur milik putranya.

"Adek. Bangun, sudah pagi," suara lembut Sagara berhasil masuk ke dalam telinga milik sang putra. Bagai alarm yang membangunkan dirinya, Ghana kini mencoba untuk membuka matanya sambil duduk di atas kasurnya.

"Em.... Ayah? Buna?" Cicitan kecil keluar dari Ghana yang masih setengah sadar.

Sagara yang melihat putranya demikian merasa gemas. Dengan perhatian Sagara ulurkan tangan miliknya untuk mengusap kepala sang putra. Lembut rambut sang putra menyapa kulit telapak tangannya. "Bangun ya. Ayah akan bangunkan Chandra dulu," ucapnya kemudian berjalan ke arah kasur sang bungsu.

"Adek. Bangun," ucap Sagara kepada Chandra. Namun seolah tidak seperti biasanya, Chandra memiliki merapatkan kembali selimut miliknya. "Adek, sudah pagi. Semuanya sudah menunggu di bawah," lanjut Sagara ketika melihat respon dari sang putra. Namun tak mempan.

"Chandra. Bangun. Buna masak enak," ucap Ghana setelah berhasil mengumpulkan nyawanya. Kini ia tengah berada di atas kasur Chandra. Lebih tepatnya, berada di atas tubuh Chandra yang tengah telentang.

"Em.... Ghana diam! Chandra masih ngantuk, Ghana," balas Chandra.

"Sudah pagi. Chandra tidak mau main? Ghana mau ajak Abang ke taman," balas Ghana sambil mencoba mengambil alih selimut yang menutupi wajah Chandra.

Mahendra BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang