05. FALLIN

171 89 34
                                    

Entah sudah berapa lama El dan Rafa dekat, bahkan sudah banyak teman sekelas mereka yang berpikir jika mereka berdua tengah menjalin hubungan. Sebenarnya El juga bingung, apakah ia benar-benar jatuh cinta pada Rafa? Dirinya selalu merasakan jantungnya berpacu cepat saat sedang bersama Rafa, jika Rafa berbincang dengan teman perempuan sekelasnya, El merasa jealous. Namun, apakah Rafa merasakan hal yang sama seperti dirinya?

Di pagi yang cerah, kini El malah harus berhadapan dengan praktik voli, sungguh El membencinya. Rasanya ia ingin berlari ke ruang UKS saja, lalu berpura-pura sakit agar tidak perlu mengikuti mata pelajaran olahraga ini. Ditengah kegiatan yang sedang berlangsung, semuanya dikejutkan akan suara seseorang yang seolah jatuh dari area samping lapangan. Mendengar itu, sontak semua yang ada di area tengah segera berlari menuju sumber suara. Sesampainya di sana, El dibuat menganga kala mendapati Rafa yang tengah memegangi dahinya, bisa El lihat ada darah yang mengalir dari sana. Bukannya meringis kesakitan, Rafa malah tersenyum, memperlihatkan deretan gigi-giginya pada El. "Apa anak ini bodoh? Kenapa ia masih bisa tersenyum di saat seperti ini?" Batin El.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, El menarik lengan Rafa, membawanya pergi ke ruang UKS untuk mendapatkan pengobatan.
Setibanya di sana, El segera mendudukan Rafa di atas brankar, lalu berbalik mengambil kotak obat di atas rak menggunakan kursi kecil yang ada di sana, melihat itu Rafa tak mampu menahan kekehannya, lantas ia lepaskan begitu saja.

"Menggemaskan." Monolognya.

Sunyi, tak ada satupun suara yang terdengar dari dalam ruangan, sebenarnya El tengah menahan kekesalannya sedari tadi. Dirinya berusaha menahan diri agar tak meluapkan kegeramannya pada pemuda yang berada tepat di hadapannya. Sampai sesaat kemudian, Rafa betul-betul tak kuasa untuk menahan tawanya, kala melihat gadis yang mengobatinya terus menampakkan raut wajah masam. "Gw nggak apa-apa El." Ucapannya diselingi dengan kekehan yang masih terkuar.

"Lagian, lo, ngapain sih?!"

Rafa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Kepleset, tadi."

"Nggak bisa diam, sih, lo!" Matanya menatap tajam pemuda yang tengah mengamatinya.

Rafa menahan pergerakan tangan El yang sedang mengoleskan betadine di dahinya. "Gw, beneran gapapa, El."

Tindakan Rafa yang tiba-tiba membuat El sontak mengedarkan pandangannya, menatap balik manik hitam di hadapannya. "Oh, damn! Apa-apaan?! Kenapa dia, natap gw, kayak gini?" Batin El.

Mereka saling menatap cukup lama, hingga rasanya jantung El akan segera meloncat keluar dari sana. Sampai akhirnya Rafa kembali terkekeh, kala pipi milik El lagi-lagi memunculkan semburat merah. Melihat Rafa yang tergelak karena dirinya, El berusaha keras untuk menetralkan debaran jantungnya. "Ngapain, lo, ketawa!" Dirinya mengubah rasa gugup menjadi rasa kesal.

"Lo, emang tipe orang yang gampang nge-blush, ya, El?"

El memutar bola matanya malas. "Nggak! Siapa bilang?"

"Oh, jadi nge-blushnya ke gw, doang, ya?" Rafa menaikkan satu alisnya.

"Nggak! Apasih, lo, PD banget!" 

"Bener kali, jangan-jangan, lo suka, ya, sama, gw?" Kekehan itu kembali masuk ke indra pendengaran El. "Kalau suka sama, gw, juga, nggak apa-apa, kok, El."

El tak menjawab, sampai tiba-tiba satu hal terlintas di benaknya. Apa dirinya harus ikut menggoda Rafa? Pasalnya Rafa sering sekali menggodanya, jadi kali ini ia akan mengikuti permainan yang Rafa ciptakan. "Kalau suka, gimana, dong?" Satu alisnya naik.

"Kalo suka, ya, pacaran." Tangannya bergerak memasukkan obat-obatan yang baru saja digunakan.

"Apa-apaan! Kenapa, dia, bisa menjawabnya se-santai itu?" Cemoohan El terdengar lirih, namun masih dapat didengar.

Rafa tak menggubrisnya, dirinya hanya tergelak singkat saat mendengarnya. Selesai menaruh kotak obat ke tempat semula, El masih juga tak bergeming. "Dengerin, gw, ya, El. Gw, suka sama, lo, gw harap, lo, bisa balas perasaan, gw." Netranya terpusat pada gadis yang tengah memunggunginya.

El kini menatap Rafa sepintas, lalu melukiskan seutas senyum manis miliknya. Dirinya ingin menjawab, namun bingung harus bagaimana ia menjawabnya. "Oh, tuhan! Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta? Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata." Pikirannya terus berlari ke sana kemari sedari tadi.

"Kalau, lo, mau jadi pacar, gw, keluar dari sini, terus ke kelas. Tunggu, gw di sana!" Awalnya Rafa ragu, ketika El masih tetap duduk diam di sana. Tetapi setelahnya, senyumnya merekah, saat El berjalan keluar dan melangkahkan kakinya ke ruang kelas.

Jatuh cinta memang indah, kala dua insannya saling mencintai.

                                    -
[ Epilog ]

"Kenapa, kamu, bisa jatuh cinta sama, aku?" El menyernyitkan keningnya.

"Karena, kamu pendek, mungkin." lagi-lagi gelak tawa itu keluar dari mulutnya.

"Ngeselin!"

"Jatuh cinta nggak butuh alasan, El. aku, nggak butuh alasan, kenapa aku, harus jatuh cinta sama, kamu. Kamu sendiri, kenapa bisa jatuh cinta sama, aku?" Satu alis Rafa naik.

"Karena, itu, kamu." Jawab El tanpa ragu.

Sebenarnya, jatuh cinta itu tidak butuh alasan. Apakah kita butuh alasan mengapa kita harus terjatuh saat jatuh? Semuanya terjadi begitu saja, tidak ada yang bisa memprediksi maupun menghindarinya.

  Jangan lupa votenya     ya sayang-sayangku💋💋

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

  Jangan lupa votenya    
ya sayang-sayangku💋💋

Dukung author dengan cara Vote dan Comment, satu dukungan dari kalian sangat berharga buat aku. Enjoy:3

ELEVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang