22. GADIS KECIL

93 58 4
                                    

Setelah kejadian di Braga lima hari lalu, El semakin menyibukkan dirinya dengan segala kegiatan, tidak memberikan space sedikitpun untuk dirinya memikirkan masa lampau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah kejadian di Braga lima hari lalu, El semakin menyibukkan dirinya dengan segala kegiatan, tidak memberikan space sedikitpun untuk dirinya memikirkan masa lampau.

Saat ini El tengah disibukkan dengan ramainya kafe yang ia lamar sebagai tempat paruh waktunya. Jika sibuk seperti ini, El akan lebih sering melewatkan jam makan, bahkan sedari siang, belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke dalam perutnya.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, yang artinya 60 menit lagi jam paruh waktu El akan selesai. Tapi kini, wajahnya sudah terlihat pucat pasi, ia menahan rasa sakit di perutnya sedari tadi, pandangannya mulai kabur, di detik berikutnya semuanya terasa gelap gulita, ia tidak sadarkan diri.

Pemilik kafe yang panik, segera membawa El pergi ke rumah sakit yang tidak jauh dari sana. Lalu, mencoba menghubungi nomor darurat yang ada di ponsel El, tertera di layar 'Kak Dewa'. Namun, tak ada balasan dari sebrang sana. Setelah dering ponsel El berhenti, satu nomor telepon tidak dikenal masuk, dengan segera, pemilik kafe mengangkatnya.

[ Halo. ] : Pemilik kafe

[ Ini nomor, El, kan? ]

[ Iya betul, tetapi sekarang El sedang tidak sadarkan diri. Kalau boleh tahu, ini siapa, ya? ]

[ Saya temannya, apa yang terjadi? Bagaimana kondisinya saat ini? ] Suaranya terdengar sangat gusar.

[ Saya akan menjelaskannya secara langsung, apa anda bisa membantu menjaganya di RS. SBC? Kebetulan, saya masih ada beberapa pekerjaan yang tidak dapat ditinggal. ]

[ Baik, tunggu sebentar. Saya akan ke sana sekarang. ]

Panggilan terputus.

Selang beberapa menit, sosok penelpon tadi tiba di rumah sakit. Beberapa buliran air bening, bahkan sudah mengalir dari pelipisnya, raut wajahnya terlihat cemas.

“Apa, El, baik-baik saja? Bagaimana kondisinya?“ Serentetan pertanyaan, menguar dari mulut Jevian.

“Kondisinya sudah membaik, dia hanya kelelahan, makannya juga kurang teratur belakangan ini. Jika dia sudah sadar, tolong sampaikan pesan saya, besok ia tidak perlu pergi bekerja. El harus memulihkan kondisinya lebih dulu, baru bisa kembali bekerja.” Pria yang diyakini sudah berkepala empat itu menjelaskannya dengan rinci.

“Baik, nanti akan saya sampaikan. Terimakasih karena sudah membawanya ke mari.“ Tubuh si pemuda membungkuk hingga 45°.

“Sudah seharusnya, kalau begitu, saya pergi dulu.“ Lantas pemilik kafe, segera melenggangkan kaki dari sana.


Sepeninggalan pemilik kafe, Jevian masuk ke dalam ruang inap El. Melihat gadis kecilnya terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit, serta infusan di lengannya, membuat hati Jevian teriris. Rasanya, ia ingin sekali menangis, lalu menanyakan hal apa saja yang menimpa gadis kecilnya selama ini. Ia sungguh merindukan gadis kecilnya yang ceria, penuh dengan tawa riang, membawa energi positif, bagi siapapun yang ada di dekatnya.

ELEVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang