11. Yang Tak Diharapkan

170 33 9
                                    

Perdebatan tadi malam tak kunjung membawakan hasil bagi Rajas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perdebatan tadi malam tak kunjung membawakan hasil bagi Rajas. Sebab setelah Cherry mengucapkan kalimatnya, semuanya terlihat tersenyum lega. Merasa bahwa masalah kali ini sudah selesai meskipun belum menemukan titik terang. Tidak perlu ditanyakan bagaimana kondisi Cherry, perempuan itu tetap tidak bisa baik-baik saja, sangat berbeda jauh dengan apa yang terakhir kali ia katakan.

Malam berlalu dengan perasaan yang campur aduk, kalut, takut hingga was-was menghantui malam mereka semua. Mereka tak bisa berbohong kalau kejadian yang menimpa Cherry juga berdampak pada diri mereka masing-masing. Bagaimana kalau hal itu terjadi juga pada mereka? Membayangkannya saja mereka tak sanggup.

Jullian, seseorang yang paling dekat dengan Cherry terlihat masih berusaha untuk menenangkan perempuan itu. Wajahnya pucat pasi, berbeda dengan penampilan yang Cherry tunjukkan setiap harinya. "Gak usah terlalu dipikirin. Semua pasti baik-baik aja. Mumpung di sini, ayolah kita seneng-seneng."

Bus masih terlihat cukup sibuk dengan murid-murid yang mulai menduduki tempat duduknya. Perjalanan kali ini akan dilakukan ke situs peninggalan sejarah yang terletak tak jauh dari hotel tempat mereka menginap.

"Gak sesederhana itu, Jul. Kepala gue rasanya mau pecah mikirin itu semua."

"Makanya gak usah terlalu dipikirin biar gak kepikiran," ucap Jullian enteng.

Meskipun niatnya baik hanya untuk membuat Cherry tenang, sayangnya perempuan itu merasa tidak terima dengan perkataan yang Jullian lontarkan. Jullian terkesan membuat enteng kejadian semalam.

"Lo gak tau rasanya karena lo belum ngalamin sendiri apa yang gue alamin."

Memang benar, Jullian belum pernah mengalami apa yang Cherry alami. Hal tersebutlah yang membuat Jullian menghembuskan napasnya lelah. Lalu menyandarkan tubuhnya di samping tempat duduk Cherry.

"Terus gue harus gimana biar lo gak kepikiran?"

"Gak usah ngapa-ngapain, diem aja."

Jullian terdiam. Tak lama bibirnya kembali bergerak, "Gue cuma khawatir aja sama lo."

Selain kekhawatiran Jullian kepada Cherry, di tempat lain Gracia tengah memandangi sebuah foto lama. Tak terlihat begitu usang namun ada beberapa bekas lipatan yang terlihat cukup jelas pada kertas foto tersebut.

Pada foto itu memperlihatkan sekumpulan siswa yang tengah berpose sembari melihat ke arah kamera. Mereka semua nampak sangat bahagia dengan senyuman yang mengembang. Namun hal itu justru membuat Gracia merasa ada gemuruh di dalam hatinya.

Dengan jemari lentiknya, Gracia mengusap sayang foto tersebut. Rasanya sudah lama tidak merasakan perasaan bahagia seperti yang ada di foto. Gracia ingin mengulangnya meskipun hanya sekali. Tapi sayang, hal itu sepertinya tak akan pernah bisa ia rasakan kembali.

"Nemu foto ini dimana?"

Helva yang memang dari hari pertama duduk di samping perempuan itu, kini mengambil alih foto yang Gracia pegang. Helva juga ada di sana. Tersenyum dengan begitu tulusnya.

"Kayaknya nyelip di tas aku."

"Kangen, ya?"

Gracia hanya tersenyum, lalu menelusupkan sebelah tangannya untuk menggenggam tangan Helva yang menganggur. "Kalau aku kangen, emang bisa terobati? Bisa gitu lagi, tuh, kayaknya gak bakal mungkin. Tapi jujur, aku beneran kangen."

Percakapan lembut itu dipaksa berhenti ketika tangan Helva yang memegang foto tersenggol oleh Rajas yang kehilangan keseimbangan sebab bus tiba-tiba saja melaju. "Eh, sorry-sorry, gue gak sengaja," ucap Rajas merasa bersalah.

Tangannya terulur untuk membantu Helva mengambil foto yang terjatuh. Netranya menyorot dengan jelas gambar yang terpampang di atas kertas bertinta itu. Ada satu perempuan yang berhasil menarik perhatian Rajas. Seseorang yang tak asing. Rajas seperti pernah melihat parasnya.

Belum sempat Rajas mencernanya lebih lama, Helva sudah lebih dulu mengambil paksa foto tersebut. Dengan tatapan tak suka, Helva menyuruh agar Rajas segera pergi dari tempatnya berdiri. Karena tidak mau membuat semuanya jadi semakin rumit, akhirnya Rajas memutuskan untuk pergi menjauh dari tempat Helva dan Gracia. Untungnya tempat duduknya ada di tengah bagian depan. Berbeda dengan 2 sejoli itu yang memilih duduk di deretan belakang.

Perjalanan berlangsung seperti study tour pada umumnya. Tak ada kendala sama sekali. Ini berkat doa yang dipimpin oleh guru pembimbing yang berada di bus tempat masing-masing yang murid naiki. Study tour kali ini lebih banyak mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Bahkan ada dua kali rombongan murid-murid diajak ke museum.

Dan di sinilah mereka sekarang berada, sesuai dengan kelompok masing-masing mereka semua berpencar untuk mencari data yang memang sudah disusun. Begitupun dengan Rajas dan kelompoknya. Sejenak mereka berenam melupakan kejadian semalam, bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Tapi berbeda dengan Rajas, kepala laki-laki itu masih dipenuhi dengan kejadian tak wajar yang terjadi pada Cherry.

Pandangan mata Rajas tak bisa beralih untuk sekedar melihat-lihat benda-benda bersejarah yang ada di depannya. Ia justru masih sangat fokus untuk memperhatikan teman satu kelompoknya tersebut. 

Bagaimana bisa mereka semua bersikap seolah mereka baik-baik saja? 

Apa kenyataannya memang begitu?

Rajas masih belum bisa menyangka.

"Lo kenapa, sih, dari tadi lihatin kita mulu?" bisik Jeanno yang menyadari kalau Rajas tak berniat untuk mengalihkan pandangannya.

"Lo semua aneh," dengus Rajas.

"Aneh gimana maksud lo?"

"Bisa-bisanya lo semua biasa aja kayak gak kejadian apa-apa, padahal lo tau sendiri semalam gimana paniknya Cherry waktu dapetin kotak misterius itu."

Jeanno menghela napas. Laki-laki itu sudah menduga bahwa yang dipikirkan oleh Rajas masih kejadian mengerikan beberapa waktu lalu, yang membuat tidur malamnya tak nyenyak. "Gue tau lo masih kepikiran, tapi bisa gak nyikapinnya biasa aja. Biar orang-orang gak curiga sama apa yang kejadian ke kita terutama sama Cherry kemarin malam."

"Sumpah, gue masih gak habis pikir sama keputusan kalian semua. Gak logis, tau gak!"

Kekehan justru keluar dari bibir Jeanno. "Lo terlalu mikirin soal itu. Palingan tuh kotak aslinya gak dikirimin ke Cherry. Cuma kebetulan Cherry yang lihat pertama kali. Jadi terkesan dia penerimanya."

"Gimana kalau memang iya?"

"Iya? Maksud lo Cherry habis ngelakuin suatu hal yang buruk?" Jeanno memegang pelipisnya, ia merasa pusing karena Rajas susah sekali diberi paham. "Rajas, kalau pun itu memang buat Cherry, emang Cherry habis ngapain? Dia gak mungkin ngelakuin hal buruk sampai harus ngebuat dia nerima teror."

"Pikiran sama hati manusia gak ada yang tau. Gue tau kok kalau Cherry suka kasar sama adik tingkat."

"Lo tau apa, sih, soal Cherry? Lo aja pindah belum ada sebulan. Rajas, Rajas, meskipun Cherry terkesan kayak cewek gak baik, dia gak mungkin ngelakuin hal di luar nalar. Hati-hati sama pemikiran lo. Apalagi kalau sampai Cherry tau."

Sebenarnya penyelesaian kemarin cukup sederhana, setidaknya bagi Rajas. Cukup mengadu kepada guru, lalu setelahnya mereka semua bisa setidaknya tidur dengan tenang. Biarkan masalahnya diselesaikan sama orang dewasa. Toh, mereka ada dalam pertanggungjawaban sekolah, kan.

Se-simple itu.

Tapi mereka memilih untuk membuat Rajas berpikir yang tidak-tidak. 

Bukankah ini terkesan aneh?




To be continued.

Nightmare 🌒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang