30. Bukan Aku!

92 20 3
                                    

Keputusan Jullian untuk membicarakan mengenai pikirannya kepada Cherry ternyata tak membuahkan hasil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keputusan Jullian untuk membicarakan mengenai pikirannya kepada Cherry ternyata tak membuahkan hasil. Perempuan itu tak begitu banyak membantu. Justru Cherry menyarankan untuk memberitahu hal ini kepada yang lain, meskipun ada kemungkinan pelakunya berasal dari mereka-mereka. Setidaknya kalau kata Cherry, Jullian bisa melihat atau memperhatikan masing-masing ekspresi yang ditunjukkan mereka semua.

Kalau dipikir-pikir, sepertinya saran dari Cherry tidak ada salahnya.

Dan di sinilah sekarang mereka berada. Atas permintaan dari Cherry, semua orang berkumpul di sini. Tanpa terkecuali.

Sebelum mengungkapkan apa yang menjadi keresahannya, Jullian menghembuskan napasnya terlebih dahulu. Mencoba mempersiapkan hatinya atas segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Walaupun sejujurnya ia masih ragu. Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba, ‘kan?

“Gue mau ngasih tau sesuatu ke kalian, tapi please, dengerin gue ngomong sampai selesai dulu,” ucap Jullian dengan memperhatikan temennya satu persatu. “Kalian semua masih inget soal kejadian di ulang tahunnya Gracia tahun lalu? Yang kita semua nginep di villa?”

Jullian masih memperhatikan teman-temannya tanpa berniat mengalihkan pandangan kedua netranya sedikitpun. Takut-takut kalau ia melewatkan sesuatu. “Yang masih ada… Ode?” cicit Jeanno, pasalnya nama itu sudah lama tidak terdengar atau disuarakan di pertemanan mereka sejak satu tahun yang lalu.

Jullian mengangguk, “Soal insiden yang dia tiba-tiba kena serangan asma. Kalian inget, ‘kan kalau kita dulu nyari obatnya dia kemana-mana tapi gak ketemu?”

“Inget. Kita bahkan sampai nyari di kolong mobil,” jawab Helva. “Kenapa emangnya? Kenapa tiba-tiba bahas dia?”

“Jadi…” lagi-lagi Jullian menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya, “Obat sama inhalernya Ode ada di dalam tas gue. Tas yang gue bawa ke acara ulang tahunnya Gracia tahun lalu.” Jullian dapat menyaksikan ekspresi kaget sekaligus tak percaya yang diperlihatkan oleh teman-temannya yang lain—tentunya selain Cherry, karena perempuan itu sudah tahu lebih dulu. “Gue gak tau kenapa punya Ode ada di dalam tas gue. Gue berani sumpah kalau gue baru tahu obat itu kemarin pas gak sengaja gue ngecek tas.”

“Jadi maksud lo obat itu bisa jalan sendiri dan masuk ke dalam tas lo?”

Gracia, perempuan yang sedari tadi diam saja, sekarang mengutarakan pertanyaan atas keganjilan yang baru saja ia dengar. “Gak mungkin banget obatnya tiba-tiba ada di dalem tas lo kalau gak ada yang masukin. Yang masukin setan?” tanya Gracia dengan kekehan sinisnya.

Helva, ia berusaha menenangkan Gracia dengan menepuk-nepuk bahunya pelan. Perempuan itu terlihat emosial saat membahas Ode.

“Lo nuduh gue? Di sini gue dudukin kalian semua dan ngasih tau masalah ini biar kita sama-sama cari tahu letak permasalahannya dimana, siapa pelaku yang nyembunyiin obat Ode di dalem tas gue. Bukan malah nuduh gue yang gak-gak kayak gini.” Dengan dada yang naik turun dan napas yang mulai tersengal, Jullian berusaha untuk meredam emosinya yang tersulut karena tuduhan sepihak dari Gracia.

“Lo aja gak punya bukti kalau gue yang naruh obat itu di dalem tas gue sendiri.”

“Dengan adanya obat itu di dalem tas lo aja udah jadi bukti kalau lo pelakunya,” ucap Gracia sarkas. Perempuan itu benar-benar terlihat tidak mau kalah.

“Yang dibilang Gracia kemungkinan benar…” ucapan Jeanno kali ini berhasil membuat orang-orang yang ada di sana sedikit terkejut. Mereka kira Jeanno akan berusaha mencari jalan tengah agar tidak terjadi kesalahpahaman. Namun ternyata yang dilakukan laki-laki itu justru sebaliknya. “Sorry kalau gue bilang gini, gue gak nuduh lo sepenuhnya. Tapi kalau dicari siapa yang dicurigai di urutan pertama, jawabannya pasti lo. Soalnya lo yang bawa obat itu.”

“Gila lo semua, anjing. Dipikir gue lupa, lo juga turut berkontribusi buat kambuhnya penyakitnya Ode. Ode punya asma, dan lo dengan gak tau dirinya malah nyalain flare!” tunjuk Jullian ke arah Jeanno. Kali ini kesabaran Jullian sudah tidak bisa ia tahan lagi.

Yang diucapkan oleh Jullian sungguh di luar dugaan Jeanno. Laki-laki itu terkejut. Bahkan yang lainnya juga sama. Siapa yang tidak mengingat bahwa Jeanno-lah yang membawa dan menyalakan flare di tengah-tengah meriahnya acara ulang tahun Gracia. Semuanya masih terekam jelas diingatan mereka, kecuali Cherry.

“Flare?”

Cherry memang sempat melihat ada bekas benda itu di villa dulu. Namun ia tak mengira akan sejauh ini.

“Coba jelasin ke gue kenapa bisa ada flare waktu itu. Kalian semua tahu, ‘kan kalau Ode punya asma?”

Kini giliran Jeanno yang mati kutu, “Gu… gue gak kepikiran sejauh itu. Gue kira bakal aman-aman aja.”

“Meskipun asma Ode kambuh, tapi kalau waktu itu obat yang Ode bawa ada. Harusnya sekarang kita masih sama Ode. Nyatanya sekarang kita semua tahu kalau obat itu ada di lo, Jull.”

“Lo bisa nggak sih berhenti nyalahin gue? Kita semua masih belum nemu bukti kongkrit yang bener-bener nunjukkin kalau gue pelakunya. Gue yakin seratus persen kalau bukan gue pelakunya. Gue masih inget banget, gak pernah ambil obat Ode. Lagian lo juga kenapa keukeuh nuduh gue? Atau jangan-jangan…” Jullian sengaja menjeda ucapannya. Laki-laki itu nampak memicingkan kedua matanya.

“Jangan-jangan apa?”

“Jangan-jangan pelakunya ada di antara kita dan tentu aja bukan gue.”

Gracia yang mendengar itu kembali tersulut emosi. Kalau Jullian boleh mengatakan dirinya bukanlah pelaku yang menyembunyikan obat Ode, artinya dia juga berhak untuk mengelak hal itu. Begitupun orang-orang yang ada di dalam ruangan ini.

“Atas dasar apa lo nuduh kita? Udah jelas kok kalau obat itu ada di lo. Lo cuma nambahin beban aja di sini tahu, gak? Sebentar lagi acara ulang tahun gue. Harusnya sekarang-sekarang ini gue nyiapin pesta gue. Tapi malah kejebak di sini sama tuduhan-tuduhan lo itu,” ucap Gracia yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

Sedangkan Jullian sendiri tak mau kalah, “Harusnya yang bilang kayak gitu gue. Harusnya sekarang gue udah ngerencanain solo travel gue dan sekarang malah jadi korban atas kelakuan pelaku yang pengen banget gue tertuduh di kasus ini.”

Kedua orang itu sama-sama keras kelapa. Gracia menyalahkan Jullian sepihak atas dasar penyembunyian obat-obatan Ode. Sementara Jullian tidak mau disalahkan karena dia merasa memang bukanlah dirinya pelaku sebenarnya. Masalah ini sungguh serius, yang berhasil Jullian tangkap adalah kematian Ode bukan atas dasar ketidaksengajaan, melainkan karena sudah direncanakan sebelumnya.

Kalau diselidiki, Jullian yakin, masalahnya tidak akan mudah terungkap. Pasti ada pihak-pihak yang mencoba menghalanginya nanti. Masalah ini tidak sesimple itu, Jullian percaya kalau masalah ini sungguh rumit.

“Di villa itu ada CCTV?” tanya Cherry, perempuan tersebut sudah mulai gerah karena kedua orang itu gampang tersulut emosi.

“Setahu gue gak ada. Cuma ada CCTV di depan gerbang masuk villa aja.”

“Kok lo tahu?”

“Gue tahu soalnya gue udah beberapa kali ke villa itu buat survei acara ulang tahun gue tahun lalu sama Mami. Gue gak inget detailnya, tapi yang gue tahu CCTV-nya cuma satu. Lagian itu villa keluarga. Gak mungkin kalau sampai dipasang CCTV di area dalam villanya. Takut melanggar privasi penyewa.”

Cherry hanya mengangguk, yang dikatakan oleh Gracia ada benarnya. Tapi di satu sisi, mereka semua kehilangan salah satu bukti yang paling bisa ditemukan untuk mengetahui siapa dalang dibalik penyembunyian obat-obatan Ode tersebut.



To be continued.

Nightmare 🌒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang