31. Kado Ulang Tahun

106 19 1
                                    

Selama perjalanan pulang, emosi Gracia masih saja berada di ubun-ubun meskipun Helva sudah berusaha menenangkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama perjalanan pulang, emosi Gracia masih saja berada di ubun-ubun meskipun Helva sudah berusaha menenangkannya. Perempuan itu tak menyangka bahwa selama ini obat yang dulu mereka semua cari-cari demi keselamatan Ode ternyata ada di dalam tas milik Jullian, yang tak lain dan tak bukan adalah sahabatnya sendiri.

"Sudah dong, sayang. Gak usah terlalu dipikirin. Kan, kita semua udah janji buat nyari bareng-bareng siapa pelakunya. Anggap aja sekarang pelakunya memang bukan Jullian," ucap Helva ketika mobil yang ia kendarai sudah sampai di pelataran rumah Gracia.

Helva tahu, dari gerak-geriknya saja kekasihnya itu masih diselimuti emosi. Memangnya siapa yang tak mengira bahwa obat itu ada di dalam tas milik Jullian. Kalaupun ia bisa menuduh sekarang juga, Helva juga akan menuduh bahwa Jullianlah pelakunya. Tapi ia tidak memiliki banyak bukti. Sehingga yang bisa ia lakukan hanya diam saja tidak terlalu vokal seperti Gracia.

"Gimana aku gak syok kalau ternyata obatnya ada di dalem tasnya Jullian."

"Udah, yuk. Turun. Mungkin kamu perlu istirahat dulu. Kamu kecapekan ini."

Setelah menurunkan sedikit egonya, Gracia akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil dan berpisah dengan Helva. Dengan senyuman yang sedikit dipaksakan, Gracia melambaikan tangannya pelan sebagai tanda perpisahan kepada kekasihnya itu. Netranya kini mengikuti kemana arah mobil laki-laki itu pergi. Kemudian ketika mobil tersebut sudah lenyap dari pandangannya, langkah kakinya menuntun Gracia menuju pintu masuk utama.

Malam ini hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Namun bagi perempuan seperti Gracia, malam selarut ini masih terbilang sore. Itulah mengapa ia terlalu santai dan tak begitu memperhatikan jam malamnya.

Bunyi pintu kamar terbuka.

Hal pertama yang berhasil Gracia tangkap adalah pemandangan kamarnya yang selalu terlihat bersih, rapi dan wangi. Namun satu keanehan yang sukses menggelitik hidungnya. Dari indera penciumannya, Gracia mampu mencium aroma anyir darah. Sesuatu yang terasa asing ini jelas sangat mengganggu pikirannya.

Langkah kaki Gracia mengarahkannya kepada pintu yang mengarah ke balkon. Suasana malam ini yang begitu dingin, menambah kesan yang teramat menakutkan. Area rumah yang sepi juga tak kalah membuat bulu kuduknya berdiri. Dengan langkah yang berusaha Gracia kuatkan, ia berjalan ke sumber aroma tersebut.

Dalam jarak kurang dari dua meter, kedua netra Gracia berhasil menangkap satu kotak yang dibungkus kertas kado. Dari tampilannya saja kontak tersebut sangat cantik. Disusun begitu rapi dan terdapat pita merah muda yang sengaja diberikan sebagai pemanis.

Hanya dengan menyaksikan kotak kado itu, setidaknya perasaan takut mulai memudar perlahan. Bau anyir yang sebelumnya tercium, perlahan tersamarkan. Dalam hati Gracia, mungkin semua ini hanya perasaannya saja—karena terlalu lelah menjalankan aktifitas seharian.

Jari-jemari lentiknya membelai pelan kotak kado itu. Dalam benaknya ia berpikir siapa gerangan yang kira-kira memberikan hadiah ini, ditambah lagi hari ini bukanlah hari ulang tahunnya. Jeanno? Tidak mungkin, laki-laki itu sudah memberikannya kado kemarin.

Sayangnya isi yang Gracia kira akan sangat cantik dan menggemaskan ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat dari perkiraannya. Isi dari kotak kado itu sungguh menyeramkan. Dan semakin menyeramkan ketika ia mengetahui fakta bahwa anjing kesayangannya-lah yang ada di balik kado itu dengan bersimbah darah.

Anjing kesayangannya telah mati!

Mengenaskan.

HAPPY BIRTHDAY, GRACIA.




Pagi hari yang sangat cerah, dibarengi dengan suara kicauan burung tak membuat Gracia bisa tersenyum cerah. Kejadian semalam yang seharusnya cukup terjadi di alam mimpi ternyata sangat menghancurkan pikirannya.

Tulisan tangan itu, Gracia seperti pernah melihatnya. Tapi semakin diingat, ia justru semakin lupa pernah melihatnya dimana. Namun ada satu nama yang bisa menjadi kemungkinan pelaku di balik kado misterius itu.

Jullian.

"LO, 'KAN YANG NGELAKUIN INI KE GUE?"

Gracia datang menghampiri Jullian yang berada di parkiran sekolah. Wajahnya sudah memerah karena menahan amarah sedari tadi. Bibirnya sudah tak kuasa untuk diam saja. Sementara Jullian yang berniat untuk melanjutkan jalannya menuju ke kelas jadi tertahan. Laki-laki itu tidak paham dengan maksud dari perkataan Gracia kali ini.

"Bisa gak, kalau ngomong gak usah pake urat? Maksud lo apa? Kalau ngomong yang bener. Jangan asal nuduh sembarangan. Kemarin lo nuduh gue yang nyembunyiin obatnya Ode. Sekarang lo nuduh gue apa lagi? Masih belum puas?"

"LO SAKIT HATI, 'KAN KARENA KEMARIN MALEM GUE NUDUH LO NYEMBUNYIIN OBATNYA ODE. TERUS SEMALEM LO KIRIM KADO YANG ISINYA ANJING GUE MATI. LO PEMBUNUH JULLIAN. LO UDAH BUNUH ANJING GUE!!!"

"LO YANG ANJING!! LAGI-LAGI LO GAK PUNYA BUKTI BUAT NUDUH GUE!"

"Lo..." Gracia mendorong bahu Jullian. "Kalau lo sampai macem-macem sama gue, gue gak bakal tinggal diam. Lo udah buat anjing kesayangan gue mati. Lo harus bayar mahal atas itu."

Kini situasinya berbalik, Jullian dengan beraninya mendorong keras Gracia hingga tubuh perempuan itu terhuyung ke belakang, "Lo yang harusnya hati-hati sama gue." Jullian kembali mendorong Gracia, kali ini lebih keras. "Lo tau kenapa?"

Tatapan mata yang sama-sama menyiratkan kemarahan yang luar biasa terasa begitu mencekam. Kedua orang itu sama sekali tidak takut dengan tatapan intimidasi satu sama lain. Keduanya sama-sama mempertahankan apa yang sudah mereka yakini.

"Karena gue udah punya kartu AS lo. Lo tau, 'kan apa yang terjadi kalau seandainya gue kasih tau ke semua orang tentang hubungan gelap lo sama Jeanno? Lo bukan orang bodoh Gracia, harusnya lo tau bahaya apa yang lagi ngintai lo sekarang. Gue masih berbaik hati buat gak bongkar kelakuan busuk kalian berdua karena gue hargai lo buat akhiri semua ini sendiri. Tapi ternyata sampai sekarang, kalian berdua masih mesra-mesra aja."

Mendapati kalimat sepanjang itu membuat rahang Gracia semakin mengeras. Perempuan itu tak menyangka bahwa Jullian akan mengancamnya seperti ini. Apa jadinya kalau laki-laki itu sampai berani membongkar semuanya? Gracia benar-benar akan murka.

"Lo pikir gue takut? Coba aja kalau lo berani? Gue yakin kalau Helva gak akan percaya sama omongan lo itu." Jika kemarin ia memohon-mohon kepada laki-laki itu agar tidak memberitahukannya kepada Helva, sekarang Gracia sudah mulai muak. Ia tak akan mengemis kepada Jullian lagi. Gracia yakin pasti ada cara lain meskipun harus menempuh jalan yang salah.

Gracia tertawa meremehkan, "Lo gak tau, 'kan secinta apa Helva sama gue. Dan gue yakin, lo sendiri gak punya bukti soal hubungan gue sama Jeanno. Lo mau dikatain ngarang cerita? Kalau seandainya lo gak bunuh anjing gue, gue gak bakal kayak gini ke lo, Jullian."

Benar, yang dikatakan oleh perempuan itu tidak salah. Waktu itu ketika Jullian tanpa sengaja memergoki mereka di rooftop sekolah, Jullian sama sekali tidak merekam obrolan mereka. Jullian terlalu terpaku dan terkejut tentang fakta yang baru saja ia ketahui. Jullian akui ia memang bodoh, tidak memanfaatkan hal itu. Namun Jullian dapat menyangkal bahwa yang terjadi adalah murni dari reaksi tubuhnya.

Lalu setelah apa yang terjadi sekarang, Jullian benar-benar menyesali hal itu. Kalau seandainya ia mempunyai bukti rekaman pembicaraan antara Gracia dan Jeanno, perempuan itu pasti tidak akan semena-mena kepadanya seperti sekarang ini.



To be continued.

Nightmare 🌒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang