25. Mimpi Buruk Cherry

192 27 3
                                    

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kata orang, mimpi adalah bunga tidur. Semua orang bisa menyebutnya begitu. Semua orang juga tau bunga memiliki makna yang sangat cantik dan harum. Lalu apa jadinya kalau mimpi tersebut adalah mimpi buruk? Apakah akan tetap disebut sebagai bunga tidur? Itulah yang menjadi pertanyaan dari Cherry sekarang. Di dalam tidur panjangnya, lebih tepatnya pada pukul dua belas tengah malam, mimpi yang menakutkan itu datang.

Di dalam mimpinya, Cherry dikerubungi dengan kepulan kabut hitam legam. Sekuat apapun ia ingin berlari, kepulan hitam tersebut masih menghalangi setiap langkahnya. Cherry tidak bisa menembus itu. Keringat juga semakin bercucuran mengiringi ketakutan dalam dirinya.

"Siapapun yang ada di sini, tolong aku," itulah batin Cherry saat ini.

Tidak terhitung berapa lama Cherry berada di dalam perangkap kabut gelap tersebut. Kedua matanya yang sudah dipenuhi air mata perlahan dapat melihat cahaya yang samar-samar datang dari arah depannya. Seiring dengan kumpulan kabut hitam yang menghilang, satu sosok yang Cherry kira akan menyelamatkannya itu ternyata sungguh jauh di luar dugaan. Sosok yang sebenarnya sudah lama Cherry kenali, kini hanya terpaku menatapnya dengan linangan yang sama—sosok tersebut juga turut menangis.

Dengan napas yang masih tersengal, bibir pucat Cherry menyebut satu nama yang sudah lama tidak ia sebutkan. "O...de?"

Iya, sosok yang berdiri itu adalah Odeanetta Zhaffanya—sahabatnya dahulu. Setelah kepergian Ode, Cherry jarang menyinggung soal perempuan tersebut. Memang benar, Cherry kerap berkunjung untuk menemui Nenek Ode. Namun untuk menyuarakan kembali nama itu, hatinya tak cukup mampu. Perasaannya terlalu campur aduk.

"Ode, lo...."

Lidahnya mendadak keluh ketika ia bisa melihat bahwa penampakan yang ada pada diri Ode begitu menyeramkan. Netra yang dulunya selalu melengkung lucu jika sedang tersenyum, sekarang berubah 180 derajat. Netra bening Ode mengeluarkan darah segar. Ode menangis darah.

Cherry semakin ketakutan ketika Ode mulai melangkahkan kaki untuk mendekat ke arahnya. "Ja...jangan."

Bertolak belakang dengan langkah kaki Ode, justru langkah kaki Cherry melangkah mundur menjauhi arah datangnya Ode. "Jangan gangguin gue, De. Gue minta maaf.”

Mimpi buruk itu selalu terbayang bahkan di saat Cherry sudah memulai harinya. Cherry pikir ia bisa dengan mudah melupakan mimpi tersebut. Tapi justru semakin Cherry mencoba untuk melupakannya, mimpi tersebut makin tertanam pekat di dalam isi kepalanya. Mengapa ia bisa memimpikan perempuan itu? Apa ada sesuatu yang mau Ode bicarakan padanya atau hanya sekedar menakutinya semata? Memikirkannya saja sudah bisa membuat Cherry hampir gila.

Jam pertama pun baru saja dimulai, namun kepalanya terasa sangat pusing. Pasalnya setelah Cherry berhasil bangun dari tidurnya, Cherry sudah tidak bisa tidur lagi. Entah kenapa suasana di kamarnya menjadi begitu dingin dan lembab. Alhasil semalaman Cherry terjaga dalam tidurnya.

Getaran pada ponselnya kembali Cherry rasakan setelah sebelumnya ia sempat mengabaikan panggilan tersebut. Dengan gerakan malas, ia raih ponsel tersebut. Laki-laki itu kembali menghubungi setelah tadi malam. Dengan hembusan napas berat, lagi-lagi Cherry menolak panggilan tersebut. Kemudian ia tolehkan ke arah bangku dimana temannya berada. Dan di detik pertama, ia langsung bersitatap dengan Rajas—laki-laki yang entah karena alasan apa, mendadak menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dibaca.



“Lo mau ngapain ngajak gue ke sini?”

Surai panjang yang selalu Cherry banggakan kini berterbangan mengikuti arah angin. Wajahnya yang terlihat tidak berwarna dari biasanya, semakin masam ketika mendapati Rajas tak kunjung mengeluarkan suaranya.

“Kalau dua detik lagi lo gak ngomong, gue tinggal.”

Belum dua detik berlalu, Rajas mulai membuka suara. Dengan suara yang tegas ia mengucapkan satu kalimat yang sama sekali belum pernah dibayangkan oleh Cherry. “Lo yang semalam neror gue, kan?”

Cherry berani bersumpah, bahwa ia tak paham dengan pertanyaan yang keluar dari bibir Rajas. “Maksud lo? Lo nerima teror?”

“Kalau bukan karena lo, siapa lagi?”

"Jadi lo lagi-lagi nuduh gue yang ngelakuin teror itu? Alasan lo apa? Apa bukti khusus yang nunjukin kalau gue adalah pelakunya?" tanya Cherry dengan satu langkah semakin dekat ke arah Rajas. Perempuan itu berubah bersikap mengintimidasi sang lawan bicara.

Rajas langsung membuka ponselnya, ia menunjukkan chat yang ia terima semalam, "Ini dari lo, kan?"

Tanpa pikir panjang, Cherry mengambil dan membaca pesan tersebut. Beberapa detik berlalu, bukannya sebuah ketakutan karena berhasil dipergoki telah melakukan teror, justru suara tawa yang menggelegar datang menyambangi rungu Rajas.

Benar, Cherry tengah menertawakannya.

"Bukti lo cuma ini doang? Itu aja gak nunjukkin kalau gue yang ngelakuin teror itu."

Rajas tau, hanya dengan menunjukkan chat saja tidak akan membuat Cherry mengakui bahwa dialah pelaku sebenarnya—yang menurut dugaan Rajas. Maka dari itu, jari panjangnya mulai menyentuh icon telephone pada layanan pesan tersebut. Di detik pertama sambungan itu berjalan, Rajas tak mendengar nada panjang yang biasanya hadir saat sebuah panggilan tersebut berhasil tersambung. Tentunya hal itu sukses membuat kebingungan dalam raut muka Rajas.

"Jadi..." ucap Cherry setengah mengejek. Bahkan ponsel perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan ada panggilan yang masuk.

Setahu Rajas, pada saat ia mencoba untuk menelpon kembali nomor tersebut, panggilan itu kembali tersambung. Memang aneh jika diingat bahwa kemarin malam sempat tidak aktif. Dan ketika netra Rajas mencoba memperhatikan satu persatu teman-temannya, ada Cherry yang terlihat tengah mematikan sambungan telephone, di saat itu juga panggilan tersebut langsung terputus. Itulah alasan mengapa Rajas menganggap bahwa Cherry yang melakukan teror kepadanya.

"Lo bisa dikenakan pasal pencemaran nama baik kalau nuduh gue sembarangan kayak gini. Lagian gak ada hal yang bisa buat gue ngelakuin teror. Gue juga gak melakukan tindakan kriminal." Cherry berbalik, mendekat ke tepi pembatas rooftop sekolah.

"Jarak dari atas ke bawah tinggi juga. Kalau jatuh dari sini, kira-kira lebih cepat mati atau masuk ke rumah sakit dulu?" pembicaraan yang berubah semendadak ini membuat Rajas lagi-lagi bingung. Namun Rajas mencoba untuk mengimbanginya.

"Lebih menderita masuk rumah sakit dulu, sih.” Rajas sempat menghembuskan napas lelah, sebelum kembali melanjutkan obrolan. “Seperti tindakan kriminal yang lo bilang sebelumnya. Contohnya?" Rajas mencoba memancing obrolan yang sebelumnya sempat terhenti karena Cherry yang membelokkan obrolan tersebut. Langkahnya sekarang sudah ada di samping Cherry yang masih asyik melihat lapangan yang ada di bawah sana.

"Membunuh, mungkin.”

“Jadi Ode meninggal karena dibunuh?”

Pertanyaan yang terdengar seperti pernyataan tersebut benar-benar membuat Cherry kehilangan kata-katanya. Lututnya lemas. Dadanya berdetak cepat. Ode—sahabatnya—meninggal karena dibunuh? Bukankah ini sebuah lelucon? Cherry tau kalau Ode meninggal karena sakit yang perempuan itu derita. Lantas narasi semacam ini datang darimana?

“Lo tau dari siapa soal Ode?”

Hanya kalimat itulah yang berhasil keluar dari bibir Cherry yang tiba-tiba kering. Lidahnya terlalu keluh mendapati pertanyaan semacam itu.

Sama seperti yang dilakukan Rajas sebelumnya. Laki-laki itu tak kunjung memberi jawaban atas pertanyaan Cherry. Ia menanti respon dari perempuan itu. Dari raut wajahnya saja, Rajas bisa melihat ada keanehan di sana. Ada getar dari tatapan Cherry yang tidak perempuan itu sadari. Dan disini Rajas sadar bahwa ada yang disembunyikan oleh Cherry—sesuatu yang cepat atau lambat harus Rajas ketahui.

“Mau denger sesuatu?”



To be continued.

Nightmare 🌒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang