Bab 1

123K 6.6K 216
                                    

Setiap orang pasti hidup dengan masalah. Ada tipe orang yang suka menunjukkan masalah itu, ada juga yang memilih menyimpan masalahnya sendiri. Kebanyakan orang akan bersikap biasa saja meski diterpa dengan berbagai masalah. Orang itu berhasil memasang topeng 'baik-baik saja' di depan orang lain.

Sama halnya dengan prinsip hidup Elin. Meski sedang tidak baik-baik saja, dia tidak pernah menjual kesedihannya untuk bisa mendapat simpati dari orang lain. Hidupnya tetap berjalan seperti biasa meski ia tahu kini ada hutang ratusan juta yang menjadi tanggungannya. Bedanya, kini ia berkerja lebih keras demi mendapat pundi-pundi uang lebih banyak.

"Coba bilang, berapa hutang Ayahmu. Siapa tau aku sama Yusa bisa bantu," ucap Hani.

Elin tersenyum kecil. "Kalian mau tau?"

Dua orang yang duduk di hadapan Elin mengangguk kompak.

Elin melipat kedua tangannya di depan dada. "Nggak banyak kok. Cuma 270 juta. Kalo dibagi dua, masing-masing 135 juta. Kalian bisa kasih aku 135 juta?"

Air di dalam mulut Yusa tersembur begitu saja mendengar nominal hutang yang baru disebut temannya. "Matamu!" serunya.

"Gila! Itu duit semua?!" pekik Hani keras.

Elin mengedikkan bahu santai. Dengan meminum kola di gelas, ia memandang dua temannya secara bergantian.

Mereka adalah Yusa dan Hani, dua teman terbaik dalam hidupnya. Meski keluarga Elin tidak cemara, ekonominya diambang batas mengenaskan, tapi Tuhan mengirimkan dua makhluk di hadapannya untuk membuat hidupnya lebih berwarna. Kalau saja tidak ada mereka, pasti sudah lama Elin mengakhiri hidupnya sendiri.

Yusa dan Hani bukan lagi sahabat, mereka sudah dianggap keluarga oleh Elin. Mereka tahu kisah hidupnya yang paling mengenaskan. Meski begitu, tidak pernah sekalipun mereka menganggap dirinya patut untuk dikasihani. Justru mereka memberi penguat agar Elin bisa bertahan meski diterpa berbagai masalah.

"Jadi, apa rencanamu untuk bayar semua hutang itu?" tanya Hani sambil mengunyah kripik singkong.

Elin menekuk kedua kakinya ke atas, mengambil posisi duduk bersila. Kemudian kedua tangannya ia lipat di atas meja. "Aku udah diskusi sama Awan. Kita berencana untuk mencicil hutang si bajingan itu tiap bulannya."

Yusa meringis. Rasanya ia sudah terbiasa mendengar kata bajingan dari mulut Elin untuk menggambarkan sosok Ayah perempuan itu.

"Hmmm... kalo dari hitunganku sama Awan, kemungkinan besar hutang akan lunas dua belas tahun lagi," ucap Elin sambil mengingat-ingat. "Atau bisa lebih dari itu kalo aku sama Awan tiba-tiba lagi ada masalah keuangan," tambahnya.

"Ajegileeee....."

"Anjir, dengar nominal hutang Ayahmu mendadak bikin aku lapar," ucap Yusa tiba-tiba. "Aku mau bikin mie kuah. Kalian pada mau?" tanyanya menatap dua teman perempuannya.

Elin dan Hani mengangguk kompak. Setelah itu Yusa bangun dari posisi duduknya, mulai mengambil mie instan di kabinet dapur.

Hari ini Elin sengaja datang ke apartemen Yusa dan Hani. Dua temannya itu memang tinggal bersama. Tujuan mereka tinggal di apartemen yang sama adalah demi menghemat biaya tempat tinggal. Yusa dan Hani sepakat membagi dua uang sewa apartemen yang mereka tempati saat ini.

Yusa adalah seorang perawat di salah satu rumah sakit yang ada di Surabaya. Jam kerjanya tidak menentu. Kadang masuk pagi, kadang masuk siang, atau lebih sering masuk malam. Berbeda dengan Hani yang setiap hari selalu ada di apartemen. Pekerjaan Hani adalah penulis freelance. Meski jarang keluar dari apartemen, tapi penghasilan Hani cukup banyak.

"Oh ya, katanya si pemberi hutang ngasih tawaran menarik buat kamu," ucap Hani begitu teringat cerita Elin satu minggu yang lalu.

Yusa yang sedang sibuk di depan kompor lantas berbalik badan, menatap dua temannya yang duduk di ruang makan. "Tawaran apa? Kok Elin nggak cerita ke aku?"

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang