Bab 20

96.8K 6.4K 129
                                    

Keesokan harinya beberapa teman-teman kantor Elin datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Mereka semua kini tahu kalau Elin sudah menikah dan bahkan sedang mengandung. Saat teman-temannya datang, ada Datu yang memperkenalkan diri sebagai suaminya. Untung saja Datu memilihkan ruangan VIP untuknya, sehingga suara bisik dari rekan-rekan kerjanya, tidak perlu mengganggu pasien lain. Setelah setengah jam, satu persatu dari rekan kerjanya mulai meninggalkan kamar rawatnya. Hanya tersisa dua temannya yang belum pulang yaitu Lula dan Anggun.

Melihat hanya tersisa dua rekan kerja Elin yang belum pergi, Datu memutuskan untuk meninggalkan Elin sebentar. Aksa sudah berulangkali menelepon karena minta dijemput. Anak itu bilang kangen sama Mamanya. Padahal di rumah ada Omanya yang menunggui Aksa.

Sementara Datu pulang untuk menjemput Aksa, Elin kembali mengobrol dengan Lula dan Anggun. Mereka berdua terlihat kesal karena selama ini Elin menyembunyikan status pernikahannya.

"Kita udah kenal berapa tahun sih? Kamu kayaknya susah banget buat cerita sama kita-kita," ucap Anggun melipat kedua tangannya.

Elin meringis. "Jangan marah dong, Mbak."

"Kalo kamu udah nikah kan kita nggak perlu jodoh-jodohin kamu sama Pak Fathan."

"Lagian aku kan nggak pernah nanggapin setiap kalian jodoh-jodohin," sahut Elin. Ngomong-ngomong soal Fathan, laki-laki itu tadi juga ikut menejenguknya. Ekspresi Fathan saat menatapnya sama sekali tidak bisa ditebak oleh Elin.

"Iyalah nggak ditanggapin. Orang suamimu tajir banget," sahut Lula. "Aku kalo jadi kamu juga nggak bakal ngelirik cowok lain kalo ada cowok mapan dan tampan yang udah ngikat dengan pernikahan," tambahnya.

Elin mengulum senyum.

"Harusnya dari awal aku sadar ya. Kamu yang dulu biasa ke kantor pakai motor terus tiba-tiba ganti mini cooper, aku nggak mikir yang macam-macam," ucap Lula.

"Untung aja kamu nggak mikir aku jadi ani-ani," sahut Elin yang sontak memicu gelak tawa kedua temannya.

"Setelah hamil, kamu bakal tetap kerja nggak?" tanya Anggun.

"Yailah Mbak, si Elin suaminya kaya. Dia nggak kerja juga nggak bakal kekurangan." Belum sempat Elin menjawab, Lula lebih dulu menyela.

"Aku sih maunya tetap kerja."

Anggun dan Lula secara kompak menatap Elin. "Kenapa?" tanya mereka nyaris bersamaan.

Elin mengedikkan bahu. "Nggak papa. Aku udah kebiasaan kerja. Rasanya nggak enak aja kalo nggak kerja."

Anggun mengusap pundak Elin pelan. "Jangan terlalu dipaksain. Dokter aja bilang kalo kamu itu kecapekan. Aku sama Zara panik banget waktu lihat kamu pingsan kondisi celana penuh darah."

"Sayang banget kemarin aku nggak masuk. Jadi nggak ikut ngantar kamu ke rumah sakit," sahut Lula.

"Oh ya, tadi suamimu kemana?" tanya Anggun penasaran.

"Suamiku pulang sebentar mau jemput Aksa."

"Aksa? Anak tirimu?" tanya Lula antusias yang diangguki oleh Elin. "Ganteng nggak?" tanyanya lagi.

"Ganteng banget. Kemarin aku sama Zara ketemu sama anaknya Elin," beritahu Anggun.

Lula manggut-manggut. "Pasti ganteng sih ya. Bapaknya aja ganteng banget," sahutnya. "Btw, dia kelas berapa? Masih kecil nggak?" tanyanya penasaran.

"Udah kelas satu SMP."

"Wah, udah masa puber tuh. Masa nakal-nakalnya anak," sahut Lula.

"Tapi Aksa nggak nakal kok," sahut Elin. Dulu memang ia sempat bermasalah dengan kelakuan Aksa, tapi semakin ke sini, anak itu sudah berubah menjadi lebih baik. Bahkan ada kalanya Aksa sangat manja dengannya. Sama seperti hari ini yang berulang kali meneleponnya dan minta dijemput.

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang