Bab 29

36.7K 4.2K 474
                                    

Datu baru selesai merapikan kamar bayi. Beberapa jam yang lalu ia dan Aksa berkutat untuk merakit tempat tidur bayi bersama. Aksa cukup banyak membantunya. Meski anak itu hanya membantu memegangi, tapi itu sudah lebih dari cukup. Aksa juga yang membongkar barang-barang lain dari kardusnya. Setelah selesai ia langsung keluar dari kamar. Hari Senin ia akan meminta Mbok Ipah untuk membersihkan setiap sudut kamar agar bersih dari debu.

Karena lelah beberapa jam berkutat merakit tempat tidur bayi, Datu memutuskan untuk mandi agar badannya lebih segar. Selesai mandi ia menghampiri Elin yang berada di ruang tengah.  Saat ini istrinya tengah sibuk dengan ponsel sambil ngemil salad buah satu mangkok besar.

"Lagi lihat apa sih kok serius banget?" tegur Datu yang sudah duduk di sebelah Elin.

Elin menunjukkan ponsel ke suaminya. "Lihat deh Mas. Itu lagi heboh banget sekarang di sosial media."

Datu terperangah melihat potongan video cctv yang saat ini sedang ia tonton. "Hah? Itu siapa?"

"Katanya sih selebgram. Dia dianiaya suaminya di depan anaknya."

"Udah, ah. Kamu lagi hamil jangan nonton kayak gitu."

"Aku lihat cuplikannya dari story mantan teman kerjaku. Karena kepo, makanya aku lihat."

Datu mengeluarkan aplikasi instagram dari ponsel Elin. "Hal-hal yang kayak gini jangan dilihat. Nggak bagus buat psikismu yang sebentar lagi mau melahirkan."

"Mas jangan kayak gitu ya," ucap Elin dengan raut wajah serius.

"Kayak gitu gimana?!"

"Pokoknya Mas nggak boleh main tangan sama aku. Bahkan nggak boleh main tangan juga sama Aksa dan anak-anak kita yang lain."

"Aku lebih takut leherku patah kalo berani berbuat kayak gitu sama kamu. Lagian lebih galak kamu daripada aku," jawab Datu sambil meringis.

Ucapan Datu sukses membuat Elin mendelik kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. 

"Ditambah sekarang Aksa udah belajar bela diri. Kayaknya kalo dia tau aku nyakitin kamu, mungkin kepalaku bakal disleding sama dia. Aksa kan sayang banget sama kamu."

Ekspresi Elin berubah menjadi geli. Kemudian ia menyandarkan kepalanya ke pundak Datu. "Mas," panggilnya dengan gumaman tidak jelas.

"Iya?"

"Jadi kapan ketemuannya?"

Datu langsung paham kemana arah pembicaraan Elin. "Hari Selasa."

"Hari Selasa? Emangnya Mas nggak kerja?"

"Ketemuannya waktu jam makan siang."

"Ooo ... oke deh."

"Kamu beneran nggak mau ikut?"

"Nggak," jawab Elin tanpa berpikir panjang.

"Yaudah kalo gitu. Aku juga nggak mau maksain kamu," sahut Datu mengusap lengan istrinya. "Oh ya, Awan tau nggak soal ini?" tanyanya tiba-tiba.

Lantas Elin menggeleng. "Emang aku harus ngasih tau Awan?"

"Emang Awan nggak ada omongan kangen atau apa gitu?"

Elin menggeleng. "Dari kecil Awan hidup sama aku dan Nenek. Waktu usia segitu, ingatannya Awan pasti masih samar-samar. Aku yakin dia nggak terlalu ingat sama masa kecilnya," jawabnya menatap Datu. "Aku sama Awan berharap lupa dengan masa kecil kami. Karena masa kecil adalah masa yang paling menyakitkan," lanjutnya lirih.

Datu diam. Memilih tidak melanjutkan pembicaraan topik ini.

"Anakku mana?" tanya Elin mengalihkan pembicaraan.

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang