Beberapa hari ini Elin merasa gelisah karena sebentar lagi Aksa mulai masuk sekolah. Kalau anak itu terlihat santai, tapi justru santainya Aksa membuat Elin ketar-ketir. Ketika ia menawari anak itu membeli alat tulis baru, Aksa menolak. Alasan Aksa berhasil membuat Elin melongo ketika mendengarnya.
"Ngapain beli buku? Aku aja jarang nyatet kalo di kelas."
Elin berharap punya kesabaran seluas samudera untuk menghadapi Aksa.
Dua hari lagi Aksa sudah mulai masuk sekolah. Hari ini, tepatnya hari Sabtu, Elin memilih masuk ke kamar Aksa. Karena sebelumnya Aksa tidak tinggal di sini, sangat wajar kalau meja belajar anak itu kosong.
"Tas sekolahmu mana?" tanya Elin.
Aksa menunjuk tas kresek yang digantung di depan lemari.
"Itu tas kresek Aksa. Emang kamu sekolah mau pakai kresek?" tanya Elin berusaha agar tidak meninggikan suaranya. Ia semakin kesal melihat Aksa malah tengkurap dan sibuk dengan game di ponsel.
"Aku pindah ke sini nggak bawa tas sekolah, Tante. Suruh aja Papa beliin aku tas yang baru. Lagian tas yang lama ada di rumah Oma," jawab Aksa masih tetap fokus dengan ponselnya.
"Sepatu?"
"Ada kok."
"Di mana?"
"Rumah Oma," jawah Aksa.
Elin mengurut dadanya. "Kenapa nggak bilang sih kalo kamu nggak punya keperluan sekolah. Hari Senin kamu itu udah masuk sekolah. Bisa-bisanya nggak disiapin dari awal."
"Lagian nggak ada yang nanya," sahut Aksa santai. Ia meletakkan ponselnya. Tatapannya kini tertuju pada wanita yang terlihat menggaruk kepala kebingungan.
"Yaudah, kamu butuh apa aja buat sekolah?"
"Nggak tau."
Elin rasanya mencak-mencak di hadapan Aksa. "Sumpah ya, kayaknya bulan depan tekanan darah Tante bakal tinggi gara-gara kamu."
"Aku yang sekolah, kok Tante yang pusing."
"Terus siapa yang bakal ngurusin kamu, hah? Papamu?" balas Elin. "Sekarang kamu mandi, terus ikut Tante belanja."
"Males, Tante." Aksa malah merebahkan dirinya ke kasur.
Elin menarik Aksa turun dari kasur. Kemudian ia mendorong tubuh itu agar masuk ke kamar mandi. "Pokoknya kalo kamu nggak nurut, uang jajanmu nggak akan cair."
Aksa masuk ke dalam kamar mandi dengan bantingan pintu yang sangat keras.
Elin lagi-lagi hanya bisa menghembuskan napas lelah. Sebelum keluar kamar Aksa, ia memunguti beberapa pakaian yang berserakan dan memasukkannya ke dalam keranjang kotor.
Karena hari ini Mbok Ipah libur, semua pekerjaan rumah diambil alih oleh Elin. Termasuk memasak untuk sarapan. Kalau hari Sabtu dan Minggu, Datu jarang sekali bangun pagi. Laki-laki itu biasanya akan bangun sekitar jam setengah delapan.
Selagi Datu belum bangun, Elin memilih masak sarapan yang sederhana. Untung saja Datu dan Aksa termasuk pemakan segalanya dan tidak ada alergi apapun. Sehingga ia tidak perlu banyak berpikir ketika harus memasak makanan untuk dua laki-laki berbeda generasi itu.
Elin baru selesai dengan masakannya saat melihat Aksa sudah duduk manis di ruang makan. "Tumben langsung ke ruang makan tanpa Tante harus teriak-teriak dulu," ucapnya keheranan.
"Aku keluar kamar baunya enak. Bikin aku lapar," ucap Aksa dengan wajah datar. "Emang Tante masak apa sih?"
Elin membawa wadah berisi sayuran yang sudah direbus. Ada kacang panjang, bayam dan taoge. Ada juga sayuran lain seperti timun dan daun kemangi. Kebetulan ada bumbu pecel di kulkas. Ia hanya perlu memberi bumbu itu dengan air hangat. Untuk lauknya ia membuat telur dadar, tempe goreng dan dadar jagung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...