"Kamu minum apa itu? Vitamin?" Datu yang baru keluar dari kamar mandi mendapati Elin hendak memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
Elin menoleh sebentar, menatap Datu yang menatapnya dengan penasaran. "Bukan," jawabnya. Kemudian ia mulai memasukkan pil ke mulutnya.
"Bukan?" Dahi Datu sontak berkerut dalam. Padahal ia mengira kalau Elin sedang meminum vitamin. Hampir setiap hari ia lihat Elin meminum sesuatu yang ia kira sebagai vitamin. Sebelumnya ia memang tidak ada niat untuk bertanya, tapi sekarang ia malah penasaran. "Kalo bukan vitamin terus apa? Obat? Kamu lagi sakit?" tanyanya.
"Pil KB."
Datu membulatkan mata sempurna. Kaget luar biasa ketika mendengar jawaban itu keluar dari mulut Elin. "Pil KB?!"
Elin mengangguk. Ia menatap suaminya yang seolah-olah memberikan tatapan kecewa padanya.
"Kenapa kamu minum pil KB?" tanya Datu tak percaya.
"Aku nggak minum sembarangan kok. Sebelumnya aku udah konsul dulu ke dokter kandungan."
Datu mengacak rambutnya frustrasi. "Pantas aku selalu buang di dalam tapi kamu nggak hamil-hamil. Padahal sebelum nikah kita udah cek kesehatan dan kita nggak ada yang bermasalah."
"Kita emang nggak bermasalah," sahut Elin santai. Ia duduk di pinggir kasur sambil mengoles body lotion di kakinya.
"Emang kamu nggak mau punya anak sama aku?" Suara Datu tiba-tiba meninggi tanpa bisa dicegah.
Elin kaget dengan perubahan suara Datu. Gerakan tangannya yang sedang mengoles body lotion di betis langsung berhenti. Ia mengangkat pandangannya dan menatap Datu dengan tajam. Nada suaranya seketika jadi ikut meninggi karena Datu meninggikan suara di hadapannya. "Atas dasar apa Mas nanya kayak gitu ke aku?"
"Karena kamu konsumsi pil KB tanpa bilang dulu ke aku." Datu menggeram keras. Kesal, marah, dan kecewa. Semua berkumpul menjadi satu dan siap meledak saat ini juga.
Elin bangun dari posisi duduknya dan langsung berdiri di depan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Emang Mas pernah bahas soal anak sama aku? Emang pernah kita bicarain rencana mau punya anak sebelumnya?"
Datu langsung kicep. Pembicaraan soal anak memang belum pernah mereka lakukan sebelumnya.
"Mas nggak pernah ada omongan mau punya anak sama aku. Terus, aku harus jadi cenayang biar tau apa yang Mas mau?"
Datu menghela napas panjang. "Aku kira kamu tau," gumamnya lirih.
"Ngobrol, Mas. Apa sih susahnya ngobrol sama aku?" sahut Elin menahan kesal. "Tiap malam aku selalu ngobrol apa pun. Bahkan aku juga sering banget ngobrol soal diriku, soal Aksa, semua aku orbolin. Setiap aku bahas soal Aksa, Mas lebih sering kelihatan cuek. Siapa yang kira kalo Mas berencana nambah anak lagi kalo tiap aku ngobrol soal Aksa Mas lebih sering cuek?" lanjutnya menumpahkan emosinya.
"Kamu nggak mau punya anak?" tanya Datu dengan suara pelan.
"Tanya ke diri Mas sendiri. Kira-kira Mas udah siap belum kalo harus punya anak lagi?"
"Mending kamu nggak usah liburan sama teman-temanmu," ucap Datu yang sukses membuat Elin melotot.
"Masss!" seru Elin kesal. "Sumpah kamu egois banget!" Setelah mengatakan itu Elin berjalan keluar kamar. Karena masih ada emosi di dalam dirinya yang belum sempat keluar, begitu menutup pintu, dengan kesadaran penuh ia menutup dengan bantingan yang sangat keras.
Beberapa bulan menikah, baru kali ini Elin dan Datu terlibat adu mulut yang sampai menarik urat. Ini pertengkaran terhebat mereka. Elin keluar dari kamar dengan kepala dan hati yang panas. Rasanya ada asap tak kasat mata yang mengepul di atas kepalanya
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...