Bab 31

67.3K 5.2K 185
                                    

Kondisi Elin semakin hari semakin membaik. Sebentar lagi ia dan anaknya sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebelum pulang dari rumah sakit, Elin dan Datu sepakat ingin menyunat anak mereka demi kesehatan. Kondisi Kafka juga sehat dan siap untuk disunat.

"Kasihan dong kalo Adik disunatnya sekarang," celetuk Aksa.

"Kenapa kasihan?" tanya Elin menatap anak pertamanya. "Justru beberapa hari setelah anak laki-laki lahir itu malah bagus untuk disunat. Manfaatnya banyak dan bagus untuk kesehatan," lanjutnya memberi penjelasan.

"Papa ingat dulu kamu disunatnya waktu kelas empat SD," sahut Datu.

Aksa takjub saat mengetahui Papanya mengingat momen itu. Ia kira Papanya lupa karena saat itu hubungan mereka tidak terlalu akrab. Acara syukuran khitanannya dilakukan di rumah Oma dan Opanya karena saat itu ia masih tinggal di sana. "Makanya aku kasihan sama Adik. Kalo dulu aku sunat dapat hadiah sama uang dari orang-orang. Kalo Adik kan nggak dapat apa-apa karena masih kecil."

Elin sontak tertawa. Ternyata apa yang ia pikirkan kurang tepat. Awalnya ia pikir Aksa kasihan karena Kafka yang masih kecil harus merasakan sakitnya disunat. Ternyata Aksa kasihan karena Kafka tidak akan mendapat hadiah atau uang dari orang-orang seperti Aksa dulu.

Datu hanya bisa geleng-geleng kepala. "Kamu itu, Kak. Papa kira kamu kasihan karena takut Adiknya kesakitan karena disunat. Ternyata kamu kasihan karena Adiknya nggak bakal dapat hadiah."

Aksa terkekeh dengan memasang tampang tanpa dosa. "Jadi, habis Kafka sunat bisa langsung pulang? Mama juga pulang, kan?" tanyanya memastikan.

"Iya, dua hari lagi Mama sama Kafka udah dibolehin pulang sama dokter."

"Alhamdulillah, akhirnya rumah jadi nggak sepi lagi kalo Mama sama Adik pulang." Aksa merangkul lengan kiri Mamanya yang bebas dari infus. Sekarang ia sedang duduk di tempat tidur bersama Mamanya.

"Lagian kamu juga jarang di rumah. Lebih sering di sini. Pulang sekolah minta diantar ke sini. Berangkat sekolah juga dari sini," sahut Datu.

"Karena rumah sepi, aku lebih milih ke rumah sakit," ucap Aksa memberi alasan. "Papa juga jarang pulang ke rumah selama Mama dirawat di rumah sakit. Paling pulang buat ambil baju ganti aja," tambahnya.

Datu tersenyum melihat tingkah Aksa yang dari tadi bergelayut manja pada Elin. Anaknya itu seperti tidak mau lepas dari Mamanya.

"Mas, kemarin aku ngobrol sama Mama."

Tatapan Datu menatap Elin. "Ngobrol apa?"

"Aku minta tolong Mama buat bantuin kita untuk ngerawat Kafka. Mama juga udah bilang setuju buat bantuin kita."

"Nanti aku akan cari baby sitter juga buat bantuin kita ngurus Kafka. Aku akan cari yang berpengalaman dan pernah pegang bayi. Beberapa hari yang lalu aku udah minta tolong Papa ngawasin orang yang lagi pasang cctv di setiap sudut rumah kita. Apalagi kamu juga habis operasi dan masih butuh waktu recovery."

"Buat apa? Kan di rumah kita udah ada cctv-nya."

"Sebelumnya kan cctv untuk di depan aja. Sekarang aku pasang di setiap sudut rumah. Aku parno sama kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Walaupun aku nggak mau itu terjadi sama anak-anak kita, tapi aku harus tetap waspada."

Elin manggut-manggut. Kemudian pintu kamar rawatnya diketuk dan tak lama muncul Awan dari pintu yang terbuka.

"Om Awan!" seru Aksa semangat.

"Hai," sapa Awan mengacak rambut Aksa pelan. "Kok jam segini udah pulang sekolah?" tanyanya.

"Tadi di sekolah bilangnya pusing. Gurunya chat ke aku dan dia bilang minta dijemput. Begitu dijemput sama Pak Imran dan dibawa ke sini, bukannya sakit malah segar banget."

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang