"Ma, Papa sakit."
"Suruh periksa ke dokter biar nggak makin parah. Kalo nggak kuat nyetir sendiri, pesan grab aja. Kamu temanin Papamu ke rumah sakit. Jangan dibiarin berangkat sendirian."
"Mama kapan pulang?"
"Besok."
"Mama nggak khawatir sama keadaannya Papa?"
"Mama juga khawatir, tapi Mama nggak bisa langsung pulang hari ini. Besok Mama udah pulang kok, tenang aja."
"Papa nggak mau bangun dari tempat tidur. Katanya badannya lemas. Dari semalam Papa muntah-muntah terus. Nggak ada makanan yang bisa masuk. Udah minta tolong Mbok Ipah buatin bubur, tapi tetap aja nggak bisa kemakan."
"Kalian habis ngapain sih sampai Papamu muntah-muntah kayak gitu?"
Ditanya seperti itu membuat ingatan Aksa kembali terlempar ke kejadian kemarin malam. Papanya yang baru pulang kerja tiba-tiba mengajaknya untuk berburu kuliner. Ternyata rencana ini sudah direncanakan oleh Papanya karena ia baru tahu kalau Mbok Ipah sengaja tidak masak untuk makan malam. Saat itu cukup banyak makanan yang mereka beli. Mulai dari sate, martabak, terang bulan, bakso, mie ayam, tahu campur dan masih banyak lainnya.
Tatapan Aksa tertuju pada Papanya yang terbaling lemas di kasur. Ia jadi kasihan karena sudah beberapa kali Papanya bolak-balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perut.
"Aksa, kamu dengar Mama nggak?"
Aksa tersentak, kembali teringat masih berbicara dengan Mamanya di telepon. "Iya, Ma. Aku dengar kok."
"Pokoknya kamu seret Papamu ke dokter biar sakitnya nggak makin parah. Kalo nggak diperiska dan minum obat, Mama takut kondisi Papamu malah makin memburuk."
"Iya, Ma."
"Besok Mama udah pulang. Bilang Papamu nggak usah dijemput di stasiun. Nanti Mama bisa pulang sendiri. Malam ini minta tolong kamu jagain Papamu dulu."
"Iya, Ma."
Panggilan kemudian berakhir. Aksa melipat kedua tangannya di depan dada, memperhatikan Papanya yang sedang tidur. Sepertinya Papanya terlalu lelah karena dalam beberapa jam terakhir harus bolak-balik ke kamar mandi.
"Pa, bangun." Aksa menggerakkan tubuh Papanya pelan.
Datu menggeliatkan tubuhnya, lalu membuka mata. Begitu ia membuka mata, sosok anaknya yang pertama kali ia lihat. "Kenapa?" tanyanya dengan suara pelan.
"Ayo ke dokter."
"Nggak usah deh." Datu kembali memejamkan mata sambil memiringkan tubuh, memeluk gulingnya.
"Aku barusan telfon Mama. Kata Mama disuruh periksa ke dokter biar nggak makin parah."
Mata Daru yang baru saja tepejam, otomatis terbuka dalam sekejap. "Kamu telfon Mama? Terus Mamamu bilang apa? Mama bakal pulang malam ini juga?" tanyanya beruntun.
Aksa menggeleng. "Mama tetap akan pulang besok."
Datu mendesah kecewa. "Papa kira Mamamu bakal langsung pulang setelah dengar Papa sakit."
"Lagian Papa aneh deh. Mama itu nggak punya pintu doraemon yang bisa dipakai kemana aja hanya dalam hitungan detik," sahut Aksa cepat. "Mending Papa sekarang periksa ke dokter biar dikasih obat. Kalo Papa nggak minum obat, yang ada penyakitnya malah makin parah."
Datu menghela napas keras. Jangankan pergi ke dokter, ia saja malas beranjak dari kasur. Tubuhnya terasa lemas karena tidak bertenaga. Tapi ucapan Aksa selanjutnya berhasil membuat Datu bangun dari posisi tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...