"Kapan Mas diajak ketemuan sama dia?"
Datu menggaruk tengkuknya.
"Kapan?!" tanya Elin tak sabaran.
"Tadi pagi dia nge-chat dan minta untuk ketemu berdua aja. Katanya ada sesuatu yang mau diobrolin."
Rasanya kepala Elin sudah mulai berasap. "Kenapa Mas Datu nggak langsung bilang ke aku?!" sentaknya kesal.
Datu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Awalnya aku nggak mau ketemu sama dia, tapi karena dia bilang itu akan jadi pertemuan terakhir, akhirnya aku setuju."
"Bagus ... karena pertemuan terakhir, jadi mau temu kangen dulu sama mantan sebelum dia pergi," sindir Elin sambil bertepuk tangan. "Pantas aja tadi siang aku dikirimin pasta sama tiramisu. Ternyata emang ada maksud terselubung. Tadi bilangnya ingat istri, makanya kirim makanan."
"Astaga, bukan gitu maksudnya." Datu mengusap wajahnya frustrasi. "Tunggu sebentar, aku mau ke kamar mandi dulu. Kamu duduk, dan atur napas yang benar. Aku nggak mau kamu emosi." Setelah mengatakan itu Datu ngacir ke kamar mandi. Ia harus segera mengosongkan kandung kemihnya, sehingga harus menunda memberi penjelasan ke istrinya.
Elin menarik napas dalam, lalu menghembuskannya kuat. Beberapa saat ia menunggu Datu yang sedang berada di kamar mandi, begitu Datu keluar ia langsung melemparkan bantal tepat di wajah suaminya. "Malam ini Mas tidur di luar aja."
"Lho? Nggak bisa gitu dong. Aku kan belum jelasin apa-apa, kok udah disuruh tidur di luar?" protes Datu sambil mendekap bantal yang tadi dilempar oleh Elin. "Kamu harus dengar penjelasanku dulu, El. Aku beneran cuma ngobrol aja. Bahkan menurutku obrolannya nggak penting. Kamu harus percaya sama aku."
Elin mengangkat sebelah tangannya. "Aku nggak mau dengar penjelasan Mas Datu."
"Tap--"
"Aku udah keburu kesal duluan saat Mas Datu bilang dia ngajak ketemuan dari pagi. Ada waktu yang cukup banyak buat Mas Datu ngasih tau ke aku."
"El--"
"Mending malam ini Mas Datu tidur di luar aja. Aku malas banget lihat muka Mas."
"Kalo aku tidur di luar, nanti kamu nggak bisa tidur lho," ucap Datu berusaha membujuk.
Elin mendelik. "Aku mending nggak bisa tidur daripada tidur sama Mas!" serunya sambil mendorong tubuh Datu sampai keluar kamar. Setelah itu ia menutup pintu dan tidak lupa langsung menguncinya.
"Astaga, El. Kamu tega banget nyuruh aku tidur di luar. Kamu kan tau aku nggak biaa tidur kalo nggak meluk kamu." Datu menggedor pintu kamarnya pelan.
"Nggak peduli!" balas Elin berteriak. Lalu ia naik ke kasur dan segera membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut. Datu masih terus mengoceh di balik pintu, tapi Elin lebih memilih untuk mengabaikannya.
Semakin hari, Elin mulai gampang lelah. Baru saja menyentuh kasur, matanya sudah mulai terasa berat. Sebelum benar-benar tidur, samar-samar telinganya menangkap suara suaminya di balik pintu.
"El, maafin aku karena nggak langsung bilang ke kamu. Aku beneran nyesal. Aku janji nggak akan kayak gitu lagi."
***
Begitu membuka mata, Elin sadar kalau semalam Datu tidak tidur di sampingnya. Mungkin karena sudah terlalu lelah, ia jadi lupa kalau sedang tidur sendiri. Elin turun dari kasur, lalu membuka gorden. Ketika mendapati langit masih gelap, ia melirik ke arah jam di kamar. Jam menunjukkan pukul setengah lima.
Elin berjalan ke kamar mandi dan menghabiskan waktu lima belas di sana. Kemudian ia keluar dengan memakai baju terusan sepaha bewarna biru. Sebelum keluar kamar, Elin menyiapkan pakaian kerja untuk Datu. Meski sedang kesal dengan suaminya, tapi ia tetap melakukan tugasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...