Bab 27

68.9K 5.5K 99
                                    

Hidup seperti sebuah lelucon bagi Elin. Beberapa waktu lalu wanita yang melahirkan Aksa tiba-tiba muncul. Kini wanita yang meninggalkannya saat kecil, muncul di hadapannya tanpa pernah ia sangka-sangka. Padahal saat usianya menginjak remaja, ia masih berharap Ibunya datang mencarinya. Tapi seiring bertambahnya usia, akhirnya ia berhenti berharap dan sadar kalau itu tidak mungkin terjadi. Sekarang sosok itu muncul dikala kehidupannya sudah bahagia. Takdir hidup sepertinya sedang mempermainkannya.

Mungkin lain kali Elin harus berhati-hati dengan ucapannya. Saat itu ia sempat berucap soal ibu kandung Aksa dan Ibunya sendiri karena takut mereka tiba-tiba muncul di hidupnya. Justru kini semua ucapannya terjadi. Entah ia harus bersyukur atau malah marah dengan takdir hidupnya.

Kemarahannya Elin pada Ibunya kembali muncul ke permukaan. Mengingat bagaimana ia berjuang mati-matian untuk merawat dan menyekolahkan Awan. Selama ini Elin bertahan hidup demi Awan. Mungkin kalau tidak ada Adiknya, mungkin sudah lama ia mengakhiri hidupnya sendiri.

Mendengar cerita Hani soal bagaimana baiknya wanita itu terhadap Masha, membuat Elin marah luar biasa. Selama ini ia merasa sangat menderita. Elin benci karena Ibunya tidak pernah muncul lagi di hidupnya dan membiarkannya menjadi samsak hidup Ayahnya. Dia merasa menjadi anak yang tidak berharga karena keberadaannya tidak pernah dicari.

Doa yang pernah Elin panjatkan terkabul. Ibunya memiliki kehidupan yang baik. Bahkan terlihat sangat baik. Kalau memang Ibunya memang memiliki kehidupan yang baik, seharusnya ia tidak perlu tahu soal itu. Karena begitu ia tahu, akan menambah luka batinnya. Mungkin Awan tidak akan merasa sesakit dirinya karena saat itu Adiknya masih terlalu kecil ketika Ibu pergi meninggalkan mereka. Tapi tidak untuk Elin. Semua terekam jelas diingatannya dan tidak akan bisa ia lupakan meski kejadiannya sudah berlangsung sangat lama.

Elin tidak habis pikir, dimana pikiran dan hati nurani Ibunya saat meninggalkan dirinya dan Awan pada sosok Ayah yang suka melakukan kekerasan. Betapa egois Ibunya karena saat itu hanya pergi untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa memikirkan anak-anaknya.

"Mama nggak papa?"

Pertanyaan Aksa sukses membuat Elin tersentak dari lamunannya. Ia menoleh, dan berusaha menyunggingkan sebuah senyum meski bibirnya terasa kaku.

"Mama kenapa sih kok diam aja?" tanya Aksa dengan raut wajah khawatir.

Elin sengaja mengabaikan pertanyaan Aksa. Kemudian ia justru balik bertanya pada anaknya. "Kamu udah bilang Papa kalo kita nunggu di lobi rumah sakit?"

Aksa sadar kalau ada yang disembunyikan Mamanya. Akhirnya ia mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Mamanya. "Aku udah chat Papa. Aku bilang Papa nggak perlu nyamperin ke kamar rawatnya Tante Hani."

Elin menghembuskan napas berat. Setelah dua belas menit menunggu,  Datu mengabari kalau sudah sampai di parkiran rumah sakit. Akhirnya Elin dan Aksa berjalan bersama menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan Elin lebih banyak diam dan membuang pandangannya ke jendela samping. Kepalanya mendadak pusing luar biasa. Ia berusaha memejamkan mata sejenak, berusaha mengusir rasa pusingnya.

"Kalian kok pulangnya cepat? Aku kira bakal sampai sore." Datu memecah keheningan di dalam mobil.

"Ini kan udah sore, Pa," ucap Aksa menimpali.

"Sebelum pulang mau mampir beli makan dulu nggak?" tanya Datu lagi melirik Elin yang masih saja menatap ke luar jendela.

"Tadi aku sama Mama udah makan sih di rumah sakit." Aksa kembali bersuara menjawab pertanyaan Papanya. "Mungkin Mama mau makan lagi," tambahnya melirik Mamanya. 

"Nggak. Kita pulang aja," sahut Elin pelan. Masih tetap menatap keluar jendela.

Sesampainya di rumah, Elin langsung masuk ke kamar. Ia mandi dan berganti baju sebelu membaringkan tubuhnya di kasur. Kemudian Datu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Elin di atas kasur. Tangannya meletakkan kedua kaki Elin di pangkuannya dan mulai memijat lembut.

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang