Sekitar jam sepuluh pagi Datu dan Awan sudah lebih dulu tiba di tempat yang sudah ditentukan. Sebuah restoran yang memiliki ruang privat menjadi pilihan tepat agar pembicaraan mereka nantinya tidak didengar oleh orang lain. Ketika mata Datu melirik Awan, ia menyadari kalau Adik iparnya terlihat sangat gugup.
"Mas, aku tiba-tiba berubah pikiran. Gimana kalo kita batalin aja pertemuan ini?" tanya Awan dengan wajah berubah panik.
"Hah?" Datu sontak kebingungan.
"Aku ngerasa belum siap ketemu sama dia."
Ketika Awan hendak berdiri, tiba-tiba pintu terbuka. Serentak dua pasang mata yang ada di dalan ruangan menoleh ke arah pintu. Di sana ada sosok wanita yang tidak sendirian. Ada sosok pria yang menggandeng tangan wanita itu berjalan masuk ke ruangan.
Tatapan mata Awan tidak sedikit pun lepas dari sosok wanita itu. Rasanya asing melihat wanita itu. Kalau banyak orang bilang ikatan darah lebih kuat, tapi Awan tidak merasakan itu. Tidak ada rasa senang setelah belasan tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang melahirkannya. Bahkan wanita itu tiba-tiba memeluknya, tak lantas membuat Awan balas memeluk juga. Karena merasa risih, akhirnya ia mendorong pelan sampai pelukan itu terlepas. Katakan saja dia anak durhaka karena tidak mau dipeluk, tapi rasa sakit itu lebih besar dari rasa kangennya.
Datu berdeham mencairkan suasana. Ia menyuruh semua untuk duduk di kursi masing-masing.
"Saya Hisyam, Bapaknya Masha dan suami dari Ibumu sekarang."
Akhirnya pertanyaan Datu dan Awan terjawab tanpa mereka harus bertanya. Baik Datu dan Awan saling tatap, karena bingung harus memulai pembicaraan dari mana.
"Sebelumnya saya mau mewakili Masha untuk minta maaf atas semua yang sudah terjadi. Seharusnya diusia Masha yang sekarang dia bisa lebih bijak. Ini semua murni kesalahan kami karena terlalu memanjakan Masha sehingga dia merasa apa yang dia mau harus didapat."
Datu yang mendengar itu sontak manggut-manggut. Pria yang mengenalkan diri sebagai Bapak Masha terlihat tenang dan berwiba.
"Ibu minta maaf sama kamu, Wan. Mungkin rasanya terlambat kata maaf ini, tapi tetap harus Ibu ucapin. Nggak seharusnya dulu Ibu ninggalin kamu dan Mbakmu gitu aja."
Awan masih diam. Dia berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak. "Kenapa?" Hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya. Satu kata yang ia ucapkan dengan susah payah.
Wanita itu tidak langsung menjawab. Saat tangannya digenggam suaminya, barulah ia membuka suara untuk menjawab. "Saat itu kondisinya nggak memungkinkan untuk bawa kalian keluar dari rumah. Ibu tau Ayah kalian kasar, tapi paling nggak Ayah kalian masih kerja dan berpenghasilan. Ibu berulang kali minta cerai, tapi nggak pernah disetujui oleh Ayah kalian."
Datu melirik Awan yang hanya diam saja. Ketika tatapan matanya jatuh pada tangan Awan, ia melihat tangan itu sudah terkepal kuat.
"Sampai akhirnya Ayah kalian setuju cerai setelah mukul kayak orang kesetanan. Ibu senang karena akhirnya bisa lepas dari Ayah kalian. Ternyata laki-laki itu setuju untuk cerai, asalkan kamu dan Elin tetap tinggal di rumah itu."
"Kenapa mereka nggak dibawa secara paksa?" Pertanyaan itu bukan keluar dari mulut Awan, melainkan Datu.
"Saat itu Ibu nggak punya penghasilan. Kalo Elin dan Awan ikut sama Ibu, udah pasti mereka akan merasakan kesulitan yang Ibu rasain."
"Egois," desis Awan kesal.
"Saat itu Ibu mau jemput kalian, tapi nggak bisa. Keadaan nggak memungkinkan untuk jemput kalian."
"Aku sama Mbak Elin menderita. Hampir tiap hari kami dipukul. Satu tahun kami harus di hidup bagai di neraka. Sampai akhirnya Nenek datang dan tinggal sama kami. Setelah Mbak Elin lulus SMA Nenek meninggal dan kami kembali dipukuli. Saat itu aku nggak tau kalo ternyata Mbak Elin diam-diam kerja untuk cari uang sambil kuliah. Bisa dibayangin Mbak kuliah pakai beasiswa penuh dan masih harus kerja juga. Selama satu tahun kerja, akhirnya Mbak bisa bawa aku keluar dari rumah yang seperti neraka. Kita ngekos di satu petak kamar yang sempit. Aku bahkan nggak berani untuk mengeluh karena tau perjuangan Mbak Elin begitu besar buat aku. Mbak berjuang sendirian dan jadi tulang punggung. Bukan hanya ngehidupin aku, tapi juga harus bayar semua hutang-hutang Ayah." Awan sudah meledak dan berbicara dengan nada suara tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...