"Aku antarin kamu ke sekolahnya Aksa."
Gerakan tangan Elin yang sedang memakai eyeliner seketika terhenti. Ia menoleh, menatap Datu yang sedang berdiri di belakangnya. "Katanya udah janjian sama klien."
"Aku mundurin jadwal ketemu sama kliennya."
"Mas ikut aku ketemu gurunya Aksa?"
Datu menggeleng. "Kamu aja yang ketemu sama gurunya Aksa. Aku nunggu di mobil aja."
Elin kembali melanjutkan makeup-nya yang tertunda. "Jadi, nanti aku ditinggal atau ditungguin?" tanyanya tanpa menatap Datu.
"Aku tungguin sampai kamu selesai," jawab Datu. "Dari sekolah nanti aku antar kamu ke kantor."
Elin manggut-manggut. "Yaudah kalo gitu."
Datu keluar kamar lebih dulu. Begitu kakinya menginjak ruang makan, ia sudah melihat anaknya duduk di sana. "Kenapa Mamamu sampai dipanggil sama gurumu?" tanyanya begitu sudah duduk di hadapan Aksa.
"Nggak tau," jawab Aksa tanpa memandang Papanya. Napsu makannya tiba-tiba hilang ditanya seperti oleh Papanya.
Tak lama Elin bergabung dengan dua laki-laki di meja makan. Saat makan bersama, tidak ada dari mereka bertiga yang mengeluarkan suara. Sampai akhirnya Elin nyeletuk. "Kalian kalo lagi duduk bareng ngobrol apa gitu. Jangan diam-diaman aja."
"Mau ngobrol apa?" tanya Datu.
Elin menepuk dahinya pelan. "Ngobrol biasa aja. Sewajarnya obrolan anak sama Papanya."
"Emang gimana obrolan anak sama Papanya?"
Elin mulai frustrasi. Ditambah lagi ekspresi Datu saat bertanya benar-benar menggambarkan laki-laki itu sedang kebingungan. Akhirnya ia memilih diam, tidak menjawab pertanyaan Datu.
Setibanya di sekolah, Datu memarkirkan mobilnya di parkiran yang tepat di bawah pohon besar. Aksa sudah turun dari mobil, menyisakan Datu dan Elin berdua.
"Jam berapa janjian sama wali kelasnya Aksa?" tanya Datu menoleh ke Elin.
"Jam setengah delapan," jawab Elin. "Mas benaran nggak mau ikut buat ketemu sama wali kelasnya Aksa?" tanyanya sekali lagi.
Datu menggeleng. "Aku nunggu di sini aja. Nanti kamu bisa ngasih tau aku apa yang diomongin wali kelasnya Aksa."
"Oke." Elin tidak berusaha membujuk Datu untuk ikut dengannya, karena ia tahu itu akan percuma.
Sembari menunggu waktu untuk bertemu wali kelasnya Aksa, akhirnya Elin mengirim pesan ke rekan kerjanya. Semalam ia sudah mengabari atasannya karena akan datang terlambat, tapi ia belum mengabari rekan-rekan kerjanya.
Tiba-tiba Elin merasa dejavu. Semenjak Neneknya meninggal, dulu ia yang datang ke sekolah Awan untuk mengambil rapot. Setelah sekian lama tidak datang ke sekolah, kini ia harus kembali ke sekolah sebagai orang tua siswa. Seumur hidup ia tidak membayangkan akan datang ke sekolah anaknya. Walaupun statusnya ibu sambung, tapi ia merasa punya kewajiban terlibat dalam urusan akademik Aksa. Mengingat Datu tidak peduli dengan Aksa, akhirnya Elin yang harus mengambil alih tugas itu.
"Mikirin apa?" tanya Datu yang menyadari Elin tampak melamun.
Elin menoleh, menatap Datu. "Mas, kira-kira nanti aku harus ngomong apa ya ke wali kelasnya Aksa?"
Datu diam bukan tidak mau menjawab, tapi karena ia sendiri tidak tahu jawabannya. Dari kecil Aksa tidak tinggal bersamanya, makanya ia tidak pernah terlibat dalam kehidupan anaknya. Kalau tidak menikah dengan Elin, mungkin sampai saat ini Aksa masih tinggal di rumah orang tuanya, bukan rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...