Bab 24

77.3K 5.6K 149
                                    

Selimut hanya menutup tubuh telanjang Elin sampai perut. Dadanya sengaja tidak tertutup selimut karena tangan nakal suami masih asyik bermain di sana. Elin tidak melarang, karena ia sendiri menikmatinya. Bahkan tidak hanya tangan, kini mulut suaminya sudah menggantikan tugas tangan yang semula sedang memilin puncak payudaranya.

"Kalo anak kita lahir, kayaknya aku bakal rebutan deh sama dia."

"Rebutan apa?" tanya Elin menunduk. Ia mendesis pelan, merasakan mulut Datu menyesap dadanya dengan keras.

"Rebutan minum susu dari kamu."

Rafleks tangan Elin memukul keras lengan Datu. "Astaga, mulutnya frontal banget," decaknya.

Wajah Datu menjauh sedikit dari dada Elin. "Lagian tadi yang ngajakin duluan kan kamu. Jam tiga pagi bangunin, aku kira kamu ngidam atau kenapa, tapi ternyata malah minta--" Belum selesai kalimatnya, tangan Elin sudah membekap mulutnya.

"Nggak usah dilanjutin. Aku malu tau," ucap Elin dengan wajah cemberut. Semua karena hormon. Karena tidur terlalu sore, membuat Elin kebangun jam dua pagi. Setelah berkutat dengan ponselnya selama satu jam, tiba-tiba nafsunya melonjak tanpa bisa dicegah. Dengan menahan malu, ia akhirnya membangunkan Datu dan mengutarakan keinginannya. Bukannya marah atau kesal, laki-laki itu malah menyambut keinginannya dengan antusias.

Datu melanjutkan menghisap puncak payudara Elin. Satu tangannya memainkan payudara lainnya yang nganggur.

Elin meremas pelan rambut Datu seiring dengan hisapan yang semakin kuat.

"Aku jamin ASI-mu pasti akan lancar. Apalagi ada aku yang bantu hisap."

Elin meremas rambut Datu dan mendekatkan ke bagian dadanya. Daripada mendengar ocehan suaminya, mending ia menikmati apa yang dilakukan mulut suaminya. Menyusui bayi besar ini merepotkan, tapi membuatnya ketagihan.

Datu menghentikan kegiatannya setelah beberapa menit sibuk dengan dada Elin. Kemudian ia menarik selimut sampai dada Elin tertutup.

"Kok udahan?" tanya Elin tampak kecewa.

Datu tertawa pelan. "Biar kamu nggak kedinginan."

Elin mencebik kesal. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah saat merasakan sebuah gerakan di dalam perutnya.

Datu sadar dengan perubahan ekspresi Elin. Ekspresi wajah istrinya tampak kaget. "Kenapa?" tanyanya panik.

"Dia gerak," beritahu Elin.

"Hah?"

Elin melirik ke perutnya. "Tumben banget jam segini dia gerak."

Datu menyentuh perut Elin di balik selimut. "Mana, kok nggak gerak?"

"Tunggu dul--" Belum selesai dengan kalimatnya, tiba-tiba Elin merasakan tendangan yang lebih keras. "Ya ampun! Dia gerak, Mas!" serunya bahagia.

"Hai anak Papa. Jangan nendang terlalu keras ya. Nanti Mama bisa kesakitan."

Elin nangis. Awalnya pelan, lalu berubah menjadi isakan agak keras.

"Kenapa malah nangis sih?" tanya Datu mengusap air mata Elin yang membasahi pipi.

"Mas sih bilang kayak gitu. Kan aku jadi terharu."

"Selama hamil kamu banyak berubah. Jadi lebih cengeng," ledek Datu dengan tawa kecil.

"Nggak usah ngeledekin kayak gitu," sahut Elin sebal.

"Aku mandi dulu deg. Mending kamu lanjut tidur aja. Masih jam setengah lima kok," ucap Datu mencium kening Elin sebelum turun dari kasur. Kemudian ia berjalan ke kamar mandi dengan kondisi telanjang.

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang