"Saya terima nikah dan kawinnya Elin Nafisah binti almarhum Isman Handoko dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."
"Sah?"
"Sah!"
Ketika semua mengadahkan tangan untuk berdoa, Elin juga berdoa sambil memikirkan nasib ke depannya. Ini adalah jalan yang sudah ia ambil. Menikah dengan laki-laki yang baru ia temui sebanyak tiga kali. Setelah memantapkan hatinya, akhirnya pernikahan menjadi jalan yang diambil.
Jangan tanyakan reaksi Awan ketika Elin bilang ingin menikah. Adiknya hanya bisa memasang tampak kaget dan tidak percaya. Saat Awan bertanya alasan untuk menikah, Elin memberikan jawaban sediplomatis mungkin.
"Aku sama dia udah sama-sama dewasa. Yang terpenting dia ganteng dan kaya. Cara ngomongnya juga santun."
"Mbak yakin?"
"Iya."
Setelah itu Elin tidak ditanya-tanya lagi oleh Awan. Awan terlihat menerima apa yang menjadi keputusannya. Satu hal yang membuatnya terenyuh adalah saat Awan mendoakan kebahagiaan untuk dirinya.
Selesai berdoa, Elin melirik ke kanan, mencuri pandang menatap laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya. Pernikahan ini memang sangat kilat. Tidak ada lamaran, tapi Tante Indah, yang kini sudah bergati status menjadi Mama mertuanya, menyiapkan pesta kecil untuk pernikahan ini. Tentu saja setelah diskusi antara Elin dan calon suaminya yang tidak menginginkan acara pernikahan yang mewah.
Panggilan Tante dan Om sudah berganti menjadi Mama dan Papa. Mereka sangat antusias menyambut Elin untuk masuk ke dalam bagian keluarga mereka. Elin cukup mudah beradaptasi dengan panggilan Mama dan Papa. Ia juga ikut senang karena mendapat sosok orang tua baru yang tidak pernah ia dapatkan dalam hidupnya.
Dia adalah Datu Saskara. Laki-laki matang berusia 35 tahun. Secara fisik Datu sangat menarik. Memiliki tubuh tinggi, tegap, serta memiliki garis wajah yang cukup tegas. Yang paling penting, setiap Elin dekat dengan Datu, ia bisa mencium perpaduan aroma bergamot dan musk bercampur menjadi satu.
Setelah beberapa kali bertemu, Elin tahu kalau suaminya tipe pendiam. Kalau tidak diajak bicara, laki-laki itu cenderung tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Elin tidak keberatan memiliki suami yang setengah bisu. Nantinya ia tidak perlu capek berbasa-basi kalau mereka sudah tinggal satu rumah.
Selesai acara, Elin langsung diboyong suaminya untuk pulang ke rumah. Karena terbiasa tinggal di rumah kontrakan yang minimalis dengan dua kamar tidur, begitu menginjakkan kaki di rumah Datu membuatnya takjub setengah mati. Ia tidak tahu pasti berapa jumlah kamar di rumah ini, tapi yang membuat berkesan adalah area ruang tengah memiliki ukuran yang luas.
"Kamu bersih-bersih dulu aja. Habis ini kita bicara."
Elin diantar ke sebuah kamar oleh Datu. Kamar ini didominasi warna gelap. Abu-abu dan sedikit sentuhan warna hitam dan putih. Semua bajunya sudah ditata di dalam walking closet. Tentu saja Mama yang melakukan ini semua. Sehari sebelum menikah, Mama memintanya mengemas semua barang pribadinya untuk dipindah ke rumah Datu.
Tidak butuh waktu lama untuk mandi. Begitu sudah selesai, Elin melangkah keluar dari kamar mandi, ia menemukan Datu duduk di pinggir ranjang dan sudah berganti baju. Penampilannya juga nampak segar seperti orang yang baru selesai mandi.
"Mau ngobrol apa, Mas?" tanya Elin sopan. Bagaimanapun juga usia Datu lebih tua darinya.
"Kita ngobrol di bawah aja."
Jam masih menunjukkan pukul dua siang. Acara pernikahan mereka diadakan sekitar jam sepuluh pagi dan berakhir jam dua belas siang. Ketika semua para tamu undangan sudah pada pulang, keluarga inti tidak langsung pulang. Mereka menghabiskan waktu untuk mengobrol, sebelum akhirnya satu jam kemudian mereka baru meninggalkan venue pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happiness [Completed]
ChickLit"Nikah sama anak Tante, hutang-hutang almarhum Ayahmu akan Tante dan suami anggap lunas." Kalimat itu terus terngiang di kepala Elin Nafisah. Selama ini uang hasil kerjanya tidak pernah dinikmati sendiri. Ada hutang ratusan juta yang harus ditanggu...