LSI ¶ 16

4 0 0
                                    

Dari ke jauhan tampak pria dengan jas itu menatap sekeliling nya.

Pemandangan hijau dan hembusan angin memberikan suasana indah kepada siapapun yang memandang nya.

"Rensya ane di sini."

"Oh itu dia." Saudara karib Rafisyqi datang dengan stelan rapinya.

"Rapi amat ente mau kemana?"

"Nggak lihat ane di mana, ente yang ajak ane ketemu."

"Tapi nggak rapi begini juga kali."

"Terserah ane lah kenapa ente yang ribut."

"Ente ngajak berantem."

Fahzan memegang kepalanya yang terasa pusing karena dua bersaudara itu.

"Iya ayok berantem."

"Udah udah, kalian kenapa sih kayak kucing sama tikus."

Fahzan menatap sekeliling, pengunjung kafe yang indah itu juga menatap mereka bingung.

"Rensya kamu duduk saja, kamu mau minum apa? Kamu Rafisyqi juga duduk."

Fahzan memegang kepalanya yang agak sedikit pusing.

"Saya datang ke sini untuk menyelesaikan misi saya, bukan untuk memperebutkan hal yang tidak penting."

"Maaf Zan." Lirih Rafisyqi.

"Makanya ente."

"Ente juga salah kali."

"Udah lah kamu minum aja jus alpukat kamu Qi."

"Kamu mau apa Rensya?"

"Saya mau hot chocolate aja."

"Ok sebentar ya."

Fahzan berjalan ke arah meja tepat di mana seorang laki-laki dengan touch screen yang setia di hadapannya.

"Saya pesan satu hot chocolate nya ya kak."

"Meja nomor berapa mas?"

"10."

"Ok di tunggu ya mas."

Fahzan berlalu kembali ke kursinya.

"Jadi gimana Zan, kasus apa yang akan saya tangani."

"Kasus pengambilan harta secara paksa."

"Harta siapa?"

"Harta ayah saya, juga percobaan pembunuhan."

"Boleh di cerita kan semua yang terjadi."

"Saya belum membuat gugatan, kalo boleh bisakah kamu membuat gugatan untuk saya."

"Saya bisa saja membantu tapi saya tidak bisa membuat gugatan itu seorang diri. Kamu harus ikut bersama saya dalam membuat gugatan itu."

"Baiklah."

"Bisa kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi?"

Fahzan mengangguk.

"Ayah saya anak angkat Sya, dulu itu ayah saya pengemis. Sampai suatu hari ayah saya ketemu sama kakek yang mengurus ayah saya. Ayah saya minta bantuan ke orang itu untuk dirinya di beri makan, kemudian ayah saya di angkat jadi anak angkatnya dia."

"Tapi kamu tahu sendiri yang namanya anak angkat nggak mungkin lebih di sayang dari pada anak kandung. Ayah saya di suruh ngemis, setiap kali hal itu terjadi pasti kakek saya bawa roti pulang, ayah saya di kasih roti basi tiap hari, ya paman saya di kasih roti yang masih bagus."

"Paman saya itu namanya Kyai Safwan, saya belum pernah bertemu langsung dengannya."

"Lalu?"

"Waktu ayah saya dewasa, ayah saya lari dari ayah angkat nya dan kakak tirinya, dia bangun pesantren Sya, nama pesantren nya Pesantren Al-Khalid."

Tanah KonstantinopelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang