"Assalamu'alaikum."
Fahzan mengetuk pintu kayu itu dengan tempo sedang.
"Pak Fatih."
Panggil Rafisyqi.
"Wa'alaikumussalam." Jawab seorang wanita bercadar membuka pintu rumahnya.
"Ada pak fatih?"
"Ayah saya lagi di masjid, ada perlu apa? Kamu bisa menitipkan nya pada saya."
"Rensya pengacara saya butuh bertemu dengan Pak Fatih."
"Silahkan masuk dahulu saya jemput ayah saya ke masjid dulu."
"Kami tunggu di luar saja."
"Baiklah kalau begitu silakan duduk."
"Tunggu sebentar."
Khasya berlari menemui sang ayah yang sedang sibuk memuji Tuhannya.
Baru sampai di halaman masjid Khasya berlari mendekati sang ayah.
"Yah, Fahzan datang ke rumah."
Ujar Khasya dengan nafas tersengal.
"Ada perlu apa dia datang Ca?"
"Ca nggak tahu yah, dia bawa seseorang lagi, Khasya nggak tau dia siapa."
"Yaudah ayah ke sana sekarang."
"Oh iya yah dia pengacaranya."
Khasya hampir lupa mengatakan hal itu, karena berlari dari rumahnya ia sampai lupa akan hal itu.
"Khasya ke warung dulu yah beli makanan ayah pulang saja dahulu."
"Iya nak."
🕌🕌🕌
"Fahzan, udah lama nunggu saya."
"Belum lama pak."
"Silahkan masuk dulu."
Fatih membuka pintu rumahnya.
"Nggak usah pak kita di luar saja."
"Nggak enak di dengar tetangga mending kita ngobrol didalam."
"Yaudah boleh pak."
Ketiga manusia itu melangkahkan kaki masuk ke rumah sederhana milik Pak Fatih itu.
Sofa yang semula kosong tidak terisi kini telah penuh diisi oleh ketiga manusia yang hadir.
"Kamu pengacara Fahzan." Pak Fatih menunjuk ke arah Rensya.
"Iya Pak saya pengacara Fahzan."
Pak Fatih hanya mengangguk menanggapi itu.
"Saya ingin bertanya tentang kejadian pak apakah bapak bisa menjelaskan kejadian hari itu secara detail, apa saja yang bapak lihat?"
"Saya kebetulan siang itu belum datang ke pesantren Al-Khalid, saya ada urusan di Masjid Rahmah, saya hanya tau sepotong pembicaraan antara Kyai Safwan dan Kyai Husain."
"Apa saja yang bapak dengar?"
"Saya hanya mendengar Kyai Safwan memaki-maki Kyai Husain."
"Boleh saya dengar perkataan Kyai Safwan."
"Ia berkata kalo Kyai Husain tidak memiliki rasa Terima kasih sama sekali kepada nya, ia juga ingin Kyai Husain meninggalkan Pesantren malam itu juga."
"Apakah bapak tidak ada keberatan untuk menjadi saksi di persidangan?"
Fatih hanya diam ragu, pikirannya beberapa hari lalu masih menjadi pemikiran dalam dirinya hari ini.
"Tidak ada ancaman yang memberatkan bapak kan?"
"Saya punya alasan pribadi, jika saya terus menutupi apa yang sebenarnya terjadi mungkin saya akan menyesal di lain hari."
"Apakah ada orang lain yang menyaksikan pertengkaran hari itu pak?"
"Jelas tidak ada selain saya dan Nyai Hanum istri Kyai Husain."
"Ibu saya tau kejadian itu pak?"
Fahzan memotong pembicaraan antara dua manusia itu.
"Kamu tidak menanyakan nya, kepada ibumu Zan?"
"Ibu tidak pernah mengatakan itu."
Ruangan itu hening tanpa ada sedikit pun gerak gerik manusia di dalamnya.
"Bapak tau tindakan ini salah, kenapa bapak tidak melaporkan nya kepada polisi atau badan hukum yang bisa menangani ini?"
"Saya di ancam waktu itu, Kyai Safwan berkata kepada saya kalo seandainya saya berani melaporkan ini ke pihak berwajib, ia tidak akan segan-segan menjadikan saya tumbal pesugihan nya."
"Karena ancaman itu?"
"Iya."
Fahzan mengurut halus tengkuknya, apakah manusia zaman sekarang lebih takut kepada jin dari pada Allah sebagai Tuhannya.
"Saya akan melakukan apapun untuk menebus kesalahan saya kepada Kyai Husain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Konstantinopel
Short StoryDiubah dari "Langit Senja Istanbul" Ke "Tanah Konstantinopel" "Apakah harus saya yang menanggung segalanya di saat semua ini berjalan begitu sulit kenapa saya harus di buat begitu tersiksa jelas jelas kamu yang tidak mengungkapkan nya." Zhafira Anas...