Fahzan pria itu berlari menghampiri Zhafira, manusia dengan pasmina yang setia melilit Kepala nya itu.
"Zhafira." Panggil Fahzan.
Manusia yang merasa dirinya terpanggil pun menoleh dan tampaklah wajah pria dengan alis tebal itu.
"Ada apa kak?"
Ujarnya mengalihkan pandangan nya.
Fahzan hanya diam meneguk salivanya.
"Kamu meninggalkan ini."
Ujar Fahzan menyodorkan sebuah payung lipat merah muda milik Zhafira.
"Eh, kenapa bisa ada sama kakak? Tapi Terima kasih Kak Fahzan."
Fahzan mengangguk dan berlalu begitu saja saat Zhafira sudah mengambil benda pelindung itu.
Ia segera menyalakan mobilnya dan berlalu begitu saja.
Ia menghembuskan nafasnya dan memegang kepalanya, apakah benar apa yang ia rasakan ini.
Mengapa harus kepada Zhafira? Apa yang membuat hati itu jatuh begitu saja di hadapan manusia yang baru saja ia kenal.
Sampai di rumahnya ia langsung masuk dan mengucapkan salam lemah.
Hanum menjawab salamnya dan menatap Fahzan bingung, manusia itu berjalan saja tanpa memperdulikan dirinya yang di tatap sang ibu nya itu bingung.
"Bang." Sapa Khasya.
Namun manusia itu sama sekali tidak mengacuhkan nya dan malah pergi begitu saja tanpa menoleh ke arahnya.
Khasya yang merasakan suasana dingin dalam diri Fahzan hanya mengangkat bahunya acuh.
"Mi abang kenapa?"
"Nggak tau, dia baru masuk langsung main pergi aja."
"Ada masalah ya?"
"Bisa jadi, nanti umi samperin deh."
Khasya hanya mengangguk.
Sudah hampir lima bulan lamanya ia berada di rumah itu, perlahan demi perlahan dirinya sudah mulai menyesuaikan diri menjadi anggota keluarga itu, dan dirinya juga sudah mulai mengikhlaskan kepergian sang ayah.
Ia menatap makanannya tanpa menyentuhnya sama sekali.
"Kamu mikirin apa Sya?"
Khasya tersentak dan beralih menatap Hanum.
"Nggak ada mi."
"Jangan sering-sering bengong kayak gitu, kalo rasanya nggak ada yang bisa di lakuin sholawat aja yang penting jangan bengong."
"Iya umi."
"Yaudah umi mau ke atas dulu temenin abang mu, kamu lanjut makan ya."
"Iya mi." Khasya mengangguk.
Hanum berlalu dari hadapannya langkah demi langkah di lewati nya begitu sampai di pintu kamar putranya itu ia menekan knopnya, dan benar saja pria itu tak mengunci pintunya.
Yang Hanum lihat manusia itu tengah membelakangi nya. Tidak ada suara yang bisa Hanum dengar dari putranya itu.
"Zan."
Fahzan masih tetap diam di posisi nya.
"Fahzan." Hanum mendekati putranya itu.
Setelah panggilan kedua itu barulah Fahzan menoleh.
"Ibu."
Hanum duduk di sebelah pria itu.
"Kamu kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanah Konstantinopel
Cerita PendekDiubah dari "Langit Senja Istanbul" Ke "Tanah Konstantinopel" "Apakah harus saya yang menanggung segalanya di saat semua ini berjalan begitu sulit kenapa saya harus di buat begitu tersiksa jelas jelas kamu yang tidak mengungkapkan nya." Zhafira Anas...