LSI ¶ 28

3 0 0
                                    

Sirene ambulans terdengar di sepanjang jalan, derai air mata sudah memenuhi wajah Khasya.

Tepat setelah selesai persidangan Fatih tiba-tiba saja pingsan.

Terpaksa ia harus di larikan ke rumah sakit, kini Fahzan dan dirinya tengah berada di kursi ambulans bersama Fatih yang tengah terbaring.

Begitu sampai di rumah sakit Fahzan dan Khasya mengikuti brankar Fatih. Perawat menghentikan langkah mereka begitu sampai di perbatasan ruangan itu.

Fahzan mengusap keringat nya.

"Saya telfon ibu saya dulu."

Khasya mengangguk membiarkan tubuh Fahzan meninggalkan dirinya seorang diri.

"Assalamu'alaikum bu." Ujar Fahzan setelah telfon itu terhubung.

"Wa'alaikumussalam, ada apa Zan? Sidangnya lancar?"

"Lancar bu, tapi ada sedikit kendala."

"Kendala apa Zan?"

"Ibu masih ingat pak Fatih?"

"Pak Fatih yang di desa itu kan?"

"Iya."

"Emang kenapa Zan?"

"Pak Fatih tadi jadi saksi di persidangan setelah selesai Pak Fatih pingsan jadi sekarang Fahzan di rumah sakit."

"Rumah sakit mana Zan?"

"Masih Di rumah sakit kota kok bu, ibu bisa datang nggak."

"Bisa Zan, ibu ke sana sekarang."

"Fahzan tunggu bu."

"Iya Assalamu'alaikum Zan."

"Wa'alaikumussalam bu."

Begitu sambungan telfon itu terputus Fahzan kembali ke pintu perbatasan ruang UGD.

Beberapa menit kemudian Hanum datang dengan raut wajah cemas.

"Pak Fatih nya gimana Zan?"

"Masih di dalam bu, masih di periksa dokter."

"Semoga Pak Fatih baik-baik aja ya."

Hanum menghembuskan nafasnya berusaha lega.

Khasya memutar pandangan nya ke arah Fahzan dan Hanum.

Fahzan yang menatap Khasya yang sedang memperhatikan.

"Oh iya umi, dia Khasya, anaknya Pak Fatih."

"Khasya?"

Hanum memutar tubuhnya melihat Khasya.

Khasya hanya tersenyum di balik cadarnya. Nampak dari ujung matanya.

"Kamu Khasya?"

"Iya tante."

"Masya Allah. Kamu udah besar ya, Fatih membesarkanmu dengan baik."

Khasya hanya tersenyum sambil menyalim tangan wanita itu.

"Jangan panggil saya tante, saya ibu kamu Khasya. Panggil saya ummi aja."

Khasya hanya tersenyum.

"Iya umi."

"Kamu udah tahu, Fahzan kakakmu."

Khasya hanya diam tidak mau menanggapi pembicaraan yang arahnya jelas sangat ia hindari.

"Maaf ya nak, kami orang tua kalian menyembunyikan hal yang seharusnya kalian tahu. Kamu mirip sama ibu kamu Crista, umi seakan merasakan sahabat umi dalam diri kamu."

Tanah KonstantinopelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang