LSI ¶ 47

2 0 0
                                    

Zhafira menatap manusia itu, matanya kian memanas jantung nya berdetak lebih cepat dari gerakan jam yang menyusuri tiap detik menyaksikan di mana pria yang kini tengah berada di hadapan nya sambil memegang tasbih kecil milik dirinya di tangan pria itu.

Zhafira batuk menyadarkan pria yang lamat menatap tasbih berwarna coklat itu.

"افوا يا اخي"

Kalimat itu secara spontan keluar dari mulut Zhafira.

Pria itu nampak memperhatikan Zhafira, Zhafira yang tak ingin di pandang dengan pemandangan di mana dirinya hampir saja menangis pun mengalihkan pandangan nya.

Nampak dari ujung mata Zhafira manusia itu tengah menyodorkan Tasbih, ia juga melihat mata manusia itu tengah memerah seakan memanas dan akan mengeluarkan air matanya.

"شكرا"

Zhafira melangkah tanpa meninggalkan jawaban dari pria itu.

Namun tanpa ia sadari air matanya jatuh membasahi cadarnya, juga terdengar di belakang dirinya suara tangisan pria.

Mendengar itu Zhafira kembali menjatuhkan air matanya, ia bukan manusia bodoh yang tidak tahu siapa manusia itu, entah apa yang terjadi sampai manusia itu bisa berada di sana tapi apapun alasannya tangis itu seakan membuat nya luluh, ia merasakan perasaan yang begitu menyakitkan dari dalam dadanya.

Ia kembali menghapus buliran itu.

"Zhafira ingat, dia sudah punya takdir nya, apapun yang terjadi jangan merusak hati wanita lain, jangan terkecoh dengan tangisan itu, tetap diam jangan beritahu siapapun dirinya."

Manusia itu kembali melanjutkan langkah nya meski tangisan itu sudah mampu menarik dirinya tapi menemani kembali sosok yang kini berada di sana, rasanya ia sudah tidak mampu.

Awalnya dirinya begitu terkejut dengan kehadiran sosok itu di sana, setelah begitu jauh ia mencoba pergi dari negri yang di cintai nya kini seakan pelarian itu tak lagi mempan, bagaimana bisa seorang Fahzan yang ia coba hindari sudah ada saja di tapak tanah yang sama dengan dirinya.

Tangisnya juga jatuh, jauh dari lubuk hatinya ia juga masih mencintai Fahzan, apapun yang terjadi tak ada satupun manusia di belahan bumi ini yang mampu membuat nya kagum akan akhlaknya, pengabdian nya terhadap Tuhannya kecuali Fahzan.

Tapi dengan ia memaksakan segalanya ia takut ia jatuh, biarlah ia mencintai sosok Fahzan di balik kehidupan yang tidak ia ketahui dari pada harus menyakiti orang lain.

Ia berlari begitu cepat di tengah keramaian jalan, nampak Zhafira manusia itu seakan tidak ada cela untuk meluapkan segala emosi nya.

Kini tujuan kakinya hanya satu Hagia Sophia, ia hanya bisa mengadu kepada Tuhannya, sudah lama sekali tangis itu tak menapak di tempat sujud, seakan akan air mata yang sudah kering kini kembali mengeluarkan cairan nya.

Tadahan tangan itu tidak begitu kokoh namun doa yang di lantunkan begitu kokoh mencapai langit ke tujuh, ribuan kali manusia itu jatuh dan tak mampu melupakan sosok Fahzan namun ketika itu sudah berhasil seakan bintang yang tidak mampu menghilangkan cahaya nya, kini dengan santainya ia hadir dengan tangisan nya.

Bohong jika Zhafira berkata tak terbesit sedikitpun di hatinya ketika tangis Fahzan mengucur rasa rindu, rasa sedih itu kembali terasa dalam dadanya sesak sudah semua yang di rasakan nya. Tapi hati besar nya berkata, "ia tak akan pernah mengingat mu dia sudah punya dirinya bagaimana dirimu bisa tahu segalanya, di saat dengan mesra nya mereka berfoto, bagaimana bisa ia mengingat mu."

Kalimat itu selalu saja terputar di otaknya.

Tangis nya seakan hanya suara angin yang selalu di acuhkan tak pernah di anggap dan hanya sebagai bayangan belakanya saja.

🕌🕌🕌

Kini mata gadis itu sudah menghitam, tak ada lagi senyuman yang bisa di pancarkan nya.

Langkahnya pun nampak tak semangat seakan puluhan kilo beban tengah di taruh di bahunya.

Saat dirinya menunduk tak sengaja dirinya menabrak seorang yang tak lagi asing dalam ingatannya, Amar, pria berkebangsaan Arab itu langsung berubah ekspresi begitu melihat Zhafira dengan wajah lesunya.

Tanpa sepatah kata apapun, sedetik kemudian Zhafira terjatuh begitu saja tak sadarkan diri, Amar ingin mengangkat nya namun ia tahu akan menimbulkan fitnah jika dirinya mengangkat manusia itu, ia berusaha mencari mala bantuan kalau itu tapi tak ada satupun manusia yang lewat di sana kecuali dirinya dan Zhafira.

Dengan terpaksa dirinya harus membopong tubuh kecil itu menuju klinik yang tidak jauh dari sana.

Begitu langkah terakhir nya sudah ia tempuh Amar beristighfar, dalam hatinya ia sungguh menyesal, ia tahu seberapa ketat Zhafira menjaga dirinya untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenisnya, Amar yakin jika Zhafira tahu tentang hal ini ia tidak akan segan memarahi Amar manusia itu hanya bisa menarik nafas pasrah.

Setelah beberapa menit berlalu seorang dokter dengan jas putih nya keluar dari ruangan itu, ia tersenyum dan dengan bahasa Turki nya ia berkata.

"Saudara tidak apa-apa hanya saja ia kekurangan energi."

Amar yang notabene manusia berbeda bahasa dengan perempuan di depannya itu menggeleng.

"Aku tidak paham maksud mu."

Ujar nya dengan bahasa Arab Khasnya.

Perempuan itu tersenyum.

"Saudara tidak apa-apa hanya saja ia kekurangan energi."

Ujar manusia itu mengulang kembali apa yang di ucapkan nya namun dengan bahasa Arab.

"Apakah dia sudah sadar?"

"Saat ini dia belum sadar, mungkin puluhan menit setelah nya dia akan sadar."

"Sampai kan saja keadaannya jaga dia, ini uang untuk pengobatan nya, jangan sampai kan siapa saya kepada nya, saya permisi wassalam."

Amar menyodorkan beberapa lembar uang ke arah dokter itu dan berpamitan begitu saja.

Benar saja setelah beberapa menit kemudian Zhafira tersadar dari pingsannya, begitu matanya terbuka kunang-kunang yang nampak di atas Kepala nya.

Denyutan begitu kuat terasa di kepalanya, tangannya juga sudah terikat dengan infus.

Nampak di sana seorang dokter tengah duduk dengan tangan di pangku nya.

"Wahai saudaraku!!"

Ujar Zhafira dengan bahasa Arab nya.

Dokter itu menoleh dan menghampiri Zhafira.

"Bagaimana kabar mu?"

"Aku sedikit sakit kepala."

Ujar Zhafira memegang kepala bagian kirinya.

"Bagaimana bisa aku sampai berada di sini?"

Zhafira kembali bertanya.

"Seseorang membawa mu ke sini setelah tadinya kamu pingsan, saya tak bisa memberi tahumu."

"Bagaimana dengan dia, apakah aku bisa bertemu dengannya?"

"Dia sudah pergi, dia hanya berpesan kepada saya untuk menjagamu."

"Siapapun itu saya sangat berterima kasih. Apakah aku sudah bisa pulang?"

Zhafira mengangkat alisnya.

"Setelah infus ini habis kamu sudah boleh pulang."

Ujar dokter itu dengan senyuman.

"Kalau begitu saya permisi."

Zhafira mengangguk di iringi manusia itu pergi berlalu meninggalkan Zhafira.

Tanah KonstantinopelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang