Bab 9

38.8K 3.8K 244
                                    

Begitu membuka mata, pemandangan yang pertama kali dilihat oleh Elin adalah dada Datu. Ketika mendongak, ia menemukan wajah Datu yang masih tertidur pulas. Tangan Datu melingkari tubuhnya, membuatnya susah untuk bergerak. Elin menghela napas panjang. Semalam tidurnya kurang nyaman karena ruang geraknya terbatas.

Setelah Elin mengobrol dengan Datu, laki-laki itu tiba-tiba memeluknya begitu saja. Meski ia tidak membalas pelukan Datu, tapi ia juga tidak menghindar atau mendorong Datu agar menjauh. Setelah adegan pelukan di balkon, ternyata adegan itu berlanjut sampai di atas kasur. Elin yang lebih sering tidur memunggungi Datu, tadi malam ditarik masuk ke dalam pelukan laku-laki itu. Kalau Datu bisa langsung tidur begitu memeluknya, berbeda dengan Elin yang butuh hampir satu jam baru bisa tidur di dalam pelukan Datu. Berulang kali Elin mencoba melepaskan diri dari pelukan Datu, tapi pelukan itu malah semakin mengerat.

Sama seperti yang Elin rasakan sekarang. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi, ia harus segera bangun dan mandi. Beberapa kali ia berusaha menyingkirkan tangan besar Datu dari tubuhnya, tapi ia malah merasakan pelukan Datu semakin mengerat. Akhirnya ia menyerah dan memilih menepuk-nepuk lengan Datu sedikit keras agar laki-laki itu bangun dan melepaskannya.

"Mas, minggir dulu tangannya."

"Hmmmm...."

Elin menghela napas keras. "Minggirin dulu tangannya. Aku nggak bisa gerak."

"Mau kemana sih?" tanya Datu tanpa membuka matanya. Ia bahkan tidak melepaskan pelukan dari tubuh Elin.

"Mau ke kamar mandi."

Meski tidak ikhlas, akhirnya Datu melepaskan tangannya yang melingkar di tubuh Elin. Ia membiarkan Elin turun dari kasur tanpa ada niat sedikit pun untuk bangun. Karena ia tahu Elin butuh waktu yang cukup lama untuk mandi di pagi hari, membuat Datu memutuskan untuk kembali tidur.

Begitu Elin selesai mandi, ia membangunkan Datu. Ia menyuruh laki-laki itu untuk segera mandi. Setelah Datu bangun dan beranjak ke kamar mandi, barulah ia duduk di depan meja riasnya. Ketika Elin hendak memakai cushion, ia baru ingat kalau belum menyiapkan pakaian kerja untuk Datu. Buru-buru ia beranjak dari kursi yang ia duduki.

Selagi melihat deretan pakaian kerja milik Datu, tiba-tiba Elin merasakan tubuhnya di peluk dari belakang. Tindakan itu membuat tubuhnya menegang seketika. Ia tentu tahu kalau yang memeluknya adalah Datu. Tak lama ia mendapati bisikan lembut di telinganya.

"Aku agak pusing. Nggak usah disiapin baju kerja. Hari ini aku mau di rumah aja."

Elin menurut. Ia mengambilkan kaos dan celana pendek selutut untuk Datu. Laki-laki itu masih saja memeluknya dari belakang ketika ia mengambil baju. Tubuh Datu hanya dibalut handuk sebatas pinggang. Ia bahkan bisa mencium aroma sabun yang menguar dari tubuh Datu.

"Gimana kalo hari ini kamu nggak masuk juga kayak aku?" bisik Datu sambil meletakkan dagunya ke pundak Elin. Tubuhnya masih menempel di belakang tubuh Elin yang tidak memberi penolakan.

Elin menggeleng pelan. "Aku kan nggak sakit. Ngapain nggak masuk juga kayak Mas Datu?"

Datu menghela napas panjang. Ia akhirnya melepaskan pelukannya dan segera mengambil baju dan celana yang ada di tangan Elin.

"Kalo emang Mas pusing mending tidur aja di rumah. Nanti pesan obat dari aplikasi, atau minta tolong Mbok Ipah buat beliin ke apotek."

"Nanti beli obatnya setelah ngantar Aksa sama kamu aja."

"Biar aku aja yang ngantar Aksa. Mending Mas istirahat aja."

Datu menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Elin. "Aku aja yang antar kalian," sahutnya bersikeras. "Aku tunggu di ruang makan. Kamu lanjutin aja makeup-nya."

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang